ISLAM DI MYANMAR
Oleh : Muhammad Priatna, S.Pd.I.
Islam di Myanmar termasuk dalam agama minoritas, dengan presentase sekitar 4% dari jumlah penduduk di seluruh Myanmar.
Agama Islam pertama kali tiba di Myanmar pada tahun 1055. Para saudagar Arab yang beragama Islam ini mendarat di delta Sungai Ayeyarwady, Semenanjung Tanintharyi, dan Daerah Rakhin. Kedatangan umat Islam ini dicatat oleh orang-orang Eropa, Cina dan Persia. Populasi umat Islam yang ada di Myanmar saat ini terdiri dari keturunan Arab, Persia, Turki, Moor, Pakistan dan Melayu. Selain itu, beberapa warga Myanmar juga menganut agama Islam seperti dari etnis Rakhin dan Shan.
Populasi Islam di Myanmar sempat meningkat pada masa penjajahan Britania Raya, dikarenakan banyaknya umat Muslim India yang bermigrasi ke Myanmar. Tapi, populasi umat Islam semakin menurun ketika perjanjian India-Myanmar ditandatangani pada tahun 1941.
Sebagian besar Muslim di Myanmar bekerja sebagai penjelajah, pelaut, saudagar dan tentara. Beberapa di antaranya juga bekerja sebagai penasehat politik Kerajaan Burma. Muslim Persia menemukan Myanmar setelah menjelajahi daerah selatan Cina. Koloni muslim Persia di Myanmar ini tercatat di buku Chronicles of China di 860. Umat muslim asli Myanmar disebut Pathi dan muslim Cina disebut Panthay. Konon, nama Panthay berasal dari kata Parsi. Kemudian, komunitas muslim bertambah di daerah Pegu, Tenasserim, dan Pathein. Tapi komunitas muslim ini mulai berkurang seiring dengan bertambahnya populasi asli Myanmar. Pada abad ke-19, daerah Pathein dikuasai oleh tiga raja muslim India.
Muslim Myanmar saat ini
Muslim di Myanmar saat ini identik dengan persoalan pengungsi etnik Rohingya yang merana dan menderita. Itulah potret kehidupan umat Muslim yang tinggal di Myanmar. Etnis Rohingya merupakan keturunan Bengali, Panthay – Muslim Burma-Cina. Sejak abad ke-7 M, mereka telah tinggal di Arakan sebuah wilayah dengan luas 14.200 mil persegi terletak di Barat Myanmar.
Kini, mereka hidup dalam tekanan junta militer Myanmar yang bengis dan kejam. Penindasan, penganiayaan hingga pembunuhan biasa dialami Muslim Rohingya. Junta Militer Myanmar memperlakukan Muslim Rohingya tak lebih dari sekadar binatang. Meski mereka adalah penduduk Arakan, namun Junta tak mengakui kewarganegaraan mereka.
Tak cuma itu, mereka pun tak bisa melakukan perjalanan dari satu daerah ke daerah lain di negaranya secara leluasa. Tanpa izin dari Junta Militer, jangan harap seorang Muslim Rohingya bisa melakukan mobilitas secara horizontal. Mereka pun tak bisa berbisnis atau membuka usaha.
Jangankan untuk usaha, hasil pertanian dan perikanan yang mereka peroleh dikenakan pajak yang sangat tinggi. Tak jarang, hasil keringat mereka disita secara paksa sebagai hukuman lantaran tak mampu membayar pajak. Junta Militer pun membatasi para pelajar Rohingya agar tak bisa mendapatkan pendidikan tinggi. Mereka dilarang kuliah baik di dalam maupun di luar negeri.
Banyak dari Muslim Rohingya yang tak berdaya dijadikan buruh paksa. Mereka pun tak diperbolehkan menjalan-kan keyakinan mereka sebagai seorang Muslim. Ratusan masjid dan madrasah di wilayah itu telah dihancurkan penguasa yang lalim. Al Quran yang mereka jadikan pegangan hidup telah diinjak-injak dan dibakar para tentara bengis yang tak beradab.
Diskriminasi dan penindasan senantiasa terjadi, seperti belum lama ini pasukan Keamanan Perbatasan Burma (NASAKA) menghancurkan 11 toko milik orang-orang Muslim Rohingya, Senin (16/11) di kota Maungdau. Mereka menuduh toko tersebut di bangun di atas tanah pertanian subur. Kemudian junta militer Myanmar memerintahkan penduduk desa Muslim Arakan Rohingya untuk mengosongkan 194 rumah di kota Sittwe dan Maungdaw dalam waktu satu bulan karena rezim militer Myanmar akan membangun pagar kawat berduri.
Dan juga, di setiap tahun, ribuan dari mereka berusaha melarikan diri, melakukan perjalanan paling berbahaya menyeberangi perbatasan Bangladesh, Thailand, India dan Indonesia, dan mereka hanya menggunakan kapal boat kecil biasa.
Organisasi PBB yang mengurusi masalah pengungsi, UNHCR mengung-kapkan, jumlah pengungsi Rohingya yang tinggal di dua kamp UNHCR Bangladesh mencapai 28 ribu orang. Di luar kedua kamp itu, terdapat tak kurang dari 200 ribu pengungsi Muslim Rohingya yang tak terdata. Mereka memilih hidup sebagai manusia perahu. Umat Muslim yang terusir dari tanah kelahirannya itu memilih tinggal di perahu kecil yang terapung di pantai. Tak mudah bagi mereka untuk mendapatkan kehidupan yang layak di negara lain. Bahkan, saat terdampar di Thailand, pengungsi Muslim Rohingya juga diperlakukan secara biadab oleh tentara negeri itu.
Myanmar mengumumkan diri sebagai negara dengan kebebasan beragama. Namun kenyataannya tidak ada negara manapun di dunia ini yang seperti Myanmar, dalam penyiksaan dan pelecehan terhadap agama lain. (Republika online. Voa-Islam)
Sumber : Materi Majalah INTISARI HASMI Vol. 0002 Rubrik Minoritas Muslimin