Inikah Takdir Alloh Subhanahu Wata’ala?
Wahai para pembaca yang budiman, keimanan kepada takdir Alloh adalah bagian dari rukun iman yang keenam, ia tak dapat dipisahkan dari keimanan terhadap rukun iman yang lainnya. Banyak orang yang meremehkannya, sehingga akhirnya mereka terjerumus ke dalam banyak kesalahan dalam masalah takdir, akibat dari ketidaktahuannya, dan ada juga orang-orang yang menyimpang, keluar dari jalur yang telah digariskan, karena mereka membahasnya hanya berdasarkan hawa nafsu dan logika semata, akibatnya mereka tersesat dan menyesatkan, hati mereka tertutup untuk menerima cahaya kebenaran yang telah nyata di hadapan mereka, “Kebenaran itu bagaikan mentari yang bercahaya, akan tetapi ia tersembunyi bagi orang yang buta.” Apakah kita akan seperti mereka…?
Pembaca, semoga Alloh subhanahu wa ta’ala menjaga kita, di dalam kehidupan ini terkadang kita dapati sebagian orang ketika melakukan perbuatan dosa, seperti mencuri, mabuk-mabukan, berjudi, berzina, dan lain sebagainya, ataupun meninggalkan kewajibannya kepada Alloh, seperti sholat, mengeluarkan zakat, puasa di bulan Romadhon, menutup aurat, mereka berdalih dengan takdir, seraya berkata, “Aku melakukan ini karena takdir dari Alloh”, dan lain sebagainya. Ada juga kita dapati sebagian orang ketika dilanda musibah seperti kehilangan sanak saudara, kecelakaan pesawat terbang, tenggelamnya kapal laut, mereka bersabar dan ridho serta menyandarkan semuanya kepada takdir Alloh, tapi ada juga di antara mereka menangis secara berlebihan, merobek-robek pakaian mereka, bahkan sampai memukul-mukul pipi mereka, seakan-akan mereka menolak dan tidak terima takdir Alloh. Apakah beralasan dengan takdir atas perbuatan maksiat dan musibah yang menimpa seseorang dibenarkan dalam Islam?
Seorang pelaku maksiat (yang berbuat dosa) tidah boleh berdalih dengan takdir atas kemaksiatan yang dilakukannya, hal ini dikarenakan ia memiliki kehendak dan kemampuan untuk berbuat, dan ia juga tidak mengetahui sebelumnya bahwa Alloh subhanahu wa ta’ala telah menakdirkan perbuatan maksiat itu terhadap dirinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Tidak boleh seseorang berdalih dengan takdir atas dosa (yang dilakukannya) berdasarkan kesepakatan (Ulama) kaum Muslimin, seluruh pemeluk agama, dan semua orang yang berakal, seandainya hal ini diterima (dibolehkan), niscaya hal ini dapat memberikan peluang kepada setiap orang untuk melakukan perbuatan yang merugikan, seperti membunuh jiwa, merampas harta, dan seluruh jenis kerusakan di muka bumi, kemudian ia pun beralasan dengan takdir. Ketika orang yang beralasan dengan takdir dizhalimi, dan orang yang menzhaliminya beralasan yang sama dengan takdir, maka hal ini tidak bisa diterima, bahkan kontradiksi, pernyataan yang kontradiksi menunjukkan kerusakan pernyataan tersebut, jadi beralasan dengan takdir itu sudah dimaklumi kerusakannya dari awal menurut akal sehat”.
Karena perkara ini menimbulkan banyak bencana, maka kami berusaha memaparkan kepada pembaca sebagian dalil-dalil syar’i, ‘aqli (akal) dan dalil realita, yang menjelaskan kebatilan (kesalahan) berhujjah (beralasan) dengan takdir atas perbuatan maksiat, atau ketika meninggalkan ketaatan kepada Alloh subhanahu wa ta’ala
Pertama: berdalil dengan takdir atas perbuatan maksiat termasuk agama orang-orang musyrik.
Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya : “Orang-orang musyrik berkata, jika Alloh menghendaki, tentu kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan kami tidak akan mengharamkan apa pun”, demikian pula orang-orang yang sebelum mereka yang telah mendustakan (para rosul) sampai mereka merasakan azab Kami. Katakanlah (Muhammad), “Apakah kalian mempunyai pengetahuan yang dapat kalian kemukakan kepada kami? Yang kalian ikuti hanya persangkaan belaka, dan kalian hanya mengira.” (QS. al-An’am (6) : 148). Kaum musyrikin tersebut berdalil dengan takdir atas perbuatan syirik yang mereka lakukan, seandainya argumen mereka diterima dan benar niscaya Alloh tidak menimpakan azab kepada mereka.
Kedua : firman Alloh yang artinya : “(Mereka Kami utus) selaku rosul-rosul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Alloh sesudah diutusnya rosul-rosul itu.” (QS.an-Nisa’ (4) :165). Seandainya berdalih dengan takdir atas kemaksiatan itu diperbolehkan, niscaya tidak ada alasan lagi bagi Alloh untuk mengutus para rosul, namun ternyata Alloh tetap mengutus mereka, berarti berhujjah dengan takdir adalah suatu kebatilan yang nyata.
Ketiga : Alloh subhanahu wa ta’ala memerintah dan melarang sesuatu dari hamba-Nya, namun Alloh tidak menuntutnya kecuali yang mampu ia kerjakan. Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman, yang artinya,“Maka bertakwalah kalian kepada Alloh menurut kesanggupan kalian”. (QS. at-Taghobun (64) : 16). Kalau manusia dipaksa untuk berbuat sesuatu, artinya disuruh mengerjakan sesuatu yang ia tidak sanggup mengerjakannya, maka hal ini merupakan suatu kesalahan, oleh karena itu, bila maksiat dilakukan karena kebodohan, atau karena lupa, atau karena dipaksa, maka pelakunya tidak berdosa (dimaafkan) oleh Alloh.
Keempat: seandainya berdalil dengan takdir semacam ini bisa menjadi argumen dan alasan, niscaya Alloh menerima argumen iblis yang mengatakan sebagaimana yang difirmankan oleh Alloh subhanahu wa ta’ala , yang artinya : “(Iblis) menjawab karena Engkau telah menghukumku tersesat, pasti aku akan selalu (menghalangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus.” (QS. al-A’rof (7) : 16).
Namun ternyata Alloh subhanahu wa ta’ala tidak menerima argumen tersebut, maka sangatlah jelas akan kebatilan berhujjah dengan takdir atas perbuatan dosa (maksiat).
Kelima: Seandainya beralasan dengan takdir itu dibenarkan, niscaya penghuni Neraka akan berargumen dengannya, ketika mereka melihat Neraka dan merasa bahwa mereka akan memasukinya, ketika mereka memasukinya, ketika mereka mulai disiksa dan dihukum, akan tetapi mereka justru mengatakan, sebagaimana firman Alloh tentang mereka, artinya : “Ya Robb kami, berilah kami kesempatan (kembali ke dunia) walaupun sebentar, niscaya kami akan mematuhi seruan-Mu dan akan mengikuti para rasul.” (QS. Ibrahim (14) : 44). Demikian pula mereka mengatakan, artinya, “Ya Robb kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami dan kami adalah orang-orang yang tersesat.” (QS. al-Mu’minun (23) :106).
Mereka juga mengatakan, artinya, “Sekiranya kami (dahulu) mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), tentulah kami tidak termasuk penghuni Neraka yang menyala-nyala.” (QS. Al-Mulk (67) :10). Sekiranya berdalih dengan takdir atas kemaksiatan itu diperbolehkan, niscaya mereka berdalih dengannya, karena mereka sangat membutuhkan sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka dari siksa neraka jahannam.
Keenam : Di antara jawaban yang dapat diberikan kepada orang yang berdalil dengan takdir ini berdasarkan madzhabnya katakan kepadanya, “Janganlah kamu menikah! Sebab jika Alloh menghendakimu memiliki seorang anak, maka anak itu akan datang kepadamu dan jika tidak menghendakinya, niscaya anak tersebut tidak datang (walaupun pasti menikah)”. Apakah ia menyetujui kita atas pernyataan ini ataukah tidak? Jika ia menyetujui kita, maka kita mengetahui kerusakan akalnya, dan jika menyelisihi kita, maka kita mengetahui kerusakan ucapannya dan kebatilan argumennya.
Ketujuh: Seandainya beralasan dengan takdir atas perbuatan aib dan dosa diperbolehkan, niscaya berbagai kemaslahatan manusia akan banyak terabaikan, anarkisme terjadi dimana-mana, tidak diperlukan lagi hudud (hukuman) dan ta’zir (hukuman peringatan) serta balasan, karena orang yang berbuat keburukan akan beralasan dengan takdir, kita tidak perlu memberikan hukuman kapada orang-orang zhalim, juga perampok dan penyamun, dengan alasan bahwa segala yang terjadi adalah karena takdir Alloh, dan perkataan ini tidak pernah diucapkan oleh orang yang berakal. Yang pasti, argumen kebanyakan dari mereka bukanlah muncul dari qana’ah dan keimanan, tetapi hanyalah muncul dari hawa nafsu dan penentangan. Karena itu, sebagian ulama mengatakan mengenai orang yang demikian keadaannya, “Ketika taat dia menjadi Qodari (pengikut paham qodariyyah) dan ketika bermaksiat, dia menjadi Jabari (pengikut paham Jabariyah), madzhab apapun yang selaras dengan hawa nafsunya, itulah yang akan ia ikuti. Ringkasnya, berargumen dengan takdir atas perbuatan maksiat atau meninggalkan ketaatan kepada Alloh adalah argumen yang batil menurut syariat, akal, dan kenyataan (realita). Adapun berdalil dengan takdir atas suatu musibah yang menimpa, seperti kefakiran, sakit, kematian, kerugian harta, pembunuhan yang tidak disengaja, dan sejenisnya, maka hal tersebut diperbolehkan, ia harus ridho dan rela menerima musibah tersebut serta memuji Alloh atasnya seraya mengatakan, “ini telah ditakdirkan Alloh, dan Dia berhak berbuat apa saja yang dikehendaki- Nya, hal itu semua telah ditakdirkan oleh Alloh, adapun musibah yang berhubungan dengan kasb (yang dapat diusahakan) maka seseorang tidak boleh berdalih dengan takdir. Sabda Nabi shollollohu alaihi wasalam, “Nabi Adam dan Nabi Musa berbantah-bantahan, Nabi Musa berkata kepadanya,” engkau Adam karena, kesalahanmulah yang telah mengeluarkanmu dari Surga? Nabi Adam menjawab : engkau Musa yang dipilih oleh Alloh dengan risalahnya dan engkau berbicara secara langsung dengan-Nya, akankah kamu mencelaku atas suatu perkara yang telah ditakdirkan atasku sebelum aku diciptakan? Maka, Nabi Adam dapat membantah Nabi Musa. (HR. Muslim).
Berdasarkan teks hadits, jelaslah bahwa Adam tidak berdalih dengan takdir atas kemaksiatan yang dilakukannya, akan tetapi ia hanya berdalih dengan takdir atas dikeluarkannya beliau dari Surga, dan nabi Musa tidak mencela Nabi Adam atas dosanya, karena nabi Adam telah memohon ampun kepada Allah dan bertobat.
Maka sebagai penutup, di antara orang yang diperbolehkan berdalih dengan takdir ialah orang yang telah bertaubat dari dosa. Seandainya ada orang yang mencela perbuatan dosa yang dia telah perbuat, maka dia boleh beralasan dengan takdir. Kemudian seseorang tidak boleh mencela orang yang telah bertaubat dari dosanya, sebab yang menjadi pertimbangan adalah kesempurnaan di akhirnya, bukan kekurangan pada permulaannya.
Wallohu a’lam.