Hak Pengasuhan Anak Dalam Islam

11 Mar 2014Redaksi Fiqih Muslimah

hak asuh anak dalam Islam

Harapan setiap pasangan suami istri adalah terciptanya keluarga yang sakinah, rahmah, dan cinta kasih sayang antara pasangan suami istri. Akan tetapi terkadang terjadi problematika rumah tangga yang dahsyat lagi menggoncangkan bahtera mereka berdua hingga berakibat terputusnya jalinan pernikahan.  Ini sesuatu hal yang nyata dalam kehidupan rumah tangga.

Ketika pasangan suami istri bercerai, sementara mereka memiliki anak, otamatis anak  membutuhkan penjagaan, bimbingan, perhatian, kasih-sayang dan pengasuhan, maka syari’at Islam yang bersifat sempurna dan komperhensif membahas masalah ini yang dikenal oleh para ulama fikih dengan istilah ‘Hadhonah’.

Definisi Hadhonah

Secara bahasa kata ‘hadhonah’ berasal dari kata hadhnun yang berarti samping karena pengasuh anak mendekapnya ke dada. Hadhinah adalah pengasuh anak. Sedangkan secara istilah kata hadhonah adalah menjaga anak kecil atau semisalnya dari marabahaya yang akan menimpanya dan mengasuhnya dengan melakukan apa yang mengandung kemaslahatan bagi anak, baik jasmani atau rohani. (al-mulakhos al-Fiqh, 2/349, Dr. Sholih bin Fauzan)

Hikmah Hadhonah

Sesungguhnya anak kecil dan orang-orang yang tergolong memiliki hukum yang sama seperti orang gila dan cacat, mereka tidak mengetahui kemaslahatan kehidupan sehingga mereka membutuhkan keberadaan orang lain untuk membantu menangani urusan-urusannya dan memberikan pemeliharaan bagi dirinya. Yaitu dengan mencurahkan hal-hal yang bermanfaat dan menghindarkannya dari bahaya-bahaya, serta mendidiknya dengan pendidikan yang terbaik.

Syari’at Islam memberlakukan hak asuh ini, untuk mengasihi, memelihara dan berbuat baik kepada mereka. Pasalnya, bila mereka dibiarkan tanpa penanggung jawab, niscaya akan terabaikan, terbengkalai dan terancam bahaya. Padahal dinul Islam mengajarkan kasih-sayang, gotong-royong dan solidaritas. Sehingga benar-benar melarang dari perbuatan yang bersifat menyia-nyiakan kepada mereka dan wajib mengasuh mereka. Ini merupakan kewajiban orang-orang yang masih terikat oleh tali kekerabatan dengan si anak. Dan kewajiban mereka adalah, mengurusi tanggung jawab anggota keluarga besarnya, sebagaimana dalam hukum-hukum lainnya. (al-mulakhos al-Fiqh, 2/349, Dr. Sholih bin Fauzan)

Syarat Pengasuh

 Jika suami istri mengalami perceraian sedangkan mereka memiliki anak, maka ibunyalah yang berhak mengasuh hingga berumur tujuh tahun. Kemudian anak tersebut disuruh memilih antara ayah atau ibunya. Jika anak itu memilih salah satu dari keduanya, maka diserahkan kepadanya. Adapun syarat hadhonah ada tujuh; 1. Berakal. 2. Merdeka. 3. Beragama (Muslim). 4. Menjaga kehormatan. 5. Amanah. 6. Bermukim. 7. (Ibu) belum menikah lagi.

Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka gugurlah ibu memperoleh hak asuh anak. (at-Tadzhib fi adillati matan al-Ghoyah wa at-Taqrib, hal 191, Dr. Musthofa Daib al-Bugho)  

Siapakah yang Lebih Utama untuk Melakukan Hadhonah

Jika terjadi perpisahan di antara suami istri karena perceraian atau meninggal dunia, maka orang yang paling berhak melakukan hadhonah terhadap anak yang masih kecil adalah ibunya, jika belum menikah lagi. Hal itu berdasarkan sabda Rosululloh ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him) yang ditujukan kepada seorang wanita yang mengadu kepada beliau mengenai anaknya yang masih kecil yang diambil darinya:

“Engkau lebih berhak atas anakmu selama kamu belum menikah lagi.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Hadits ini dishohihkan oleh al-Hakim)

Jika ibunya tidak ada, maka yang paling berhak melakukan hadhonah terhadapnya adalah nenek dari jalur ibunya, karena nenek dari jalur ibunya adalah bagaikan ibunya sendiri bagi anak tersebut. Jika nenek dari jalur ibunya tidak ada, maka yang paling berhak melakukan hadhonah terhadapnya adalah bibinya dari jalur ibunya, karena bibi dari jalur ibunya adalah bagaikan ibunya sendiri bagi anak tersebut. Rosululloh ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him) bersabda;

“Bibi dari jalur ibu adalah seperti ibu.” (HR. al-Bukhori)

Jika bibinya dari jalur ibunya tidak ada, maka yang berhak melakukan hadhonah adalah nenek dari jalur ayahnya. Jika nenek dari jalur ayahnya tidak ada, maka yang paling berhak melakukan hadhonah adalah saudara perempuan ayahnya. Jika saudara perempuan ayahnya tidak ada, maka yang paling berhak melakukan hadhonah adalah bibi dari jalur ayahnya. Jika bibi dari jalur ayahnya tidak ada, maka yang paling berhak melakukan hadhonah adalah anak perempuan dari saudara laki-lakinya. Jika orang yang disebutkan ternyata tidak ada, maka yang berhak melakukan hadhonah adalah kembali lagi kepada bapaknya, kakeknya, saudaranya, anak laki-laki saudaranya, pamannya dari jalur bapaknya. Kemudian kerabatnya yang paling dekat serta kerabatnya berikutnya seseuai urutan kekerabatan. (Minhaj al-Muslim, Dr Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri)

Unsur-Unsur yang Dapat Menghalangi Hak Asuh Anak

Pertama. Ar-Riqqu.  Tidak adanya hak hadhonah bagi orang berstatus sebagai budak, walaupun masih tersisa sedikit. Karena hadhonah (mengasuh) merupakan salah satu jenis wilayah (tanggung jawab). Adapun seorang budak, ia tidak mempunyai hak wilayah. Karena ia akan disibukkan dengan pelayanan terhadap majikannya dan segala yang ia lakukan terbatasi hak tuannya.

Kedua. Orang Fasiq. ia tidak bisa dipercaya mengemban tanggung jawab pengasuhan Keberadaan anak bersamanya akan berpengaruh negatif bagi anak, karena buruknya pengasuhan dan anak akan tumbuh dalam metedologi pendidikan yang buruk.

Ketiga. Orang Kafir. Orang kafir tidak boleh diserahi hak mengasuh anak yang beragama Islam. Kondisinya lebih buruk dari orang fasik. Bahaya yang muncul darinya lebih besar. Sesungguhnya keberadaan pengasuh akan menjadi fitnah agama anak dan mengeluarkannya dari Islam melalui penanaman keyakinan dan tarbiyah agama kufurnya.

Keempat. Seorang Wanita Yang Telah Menikah Lagi Dengan Lelaki Lain.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi  kepada ibu seorang anak, “Engkau lebih berhak atas anakmu selama engkau belum menikah lagi.” Karena suami memiliki kekuasaan untuk  mengambil manfaat darinya dan berhak melarangnya. Maksud laki-laki lain adalah lelaki yang bukan dari kalangan ‘ashabah (pewaris) anak yang diasuhnya. Tetapi, jika sang ibu menikah dengan seorang laki-laki yang masih memiliki hubungan tali kekerabatan dengan si anak, maka hak asuh ibu tidak hilang.

Demikian beberapa faktor yang dapat menghalangi seseorang tidak memperoleh hak asuh bagi anaknya. Apabila faktor-faktor penghalang ini lenyap, misalnya seorang budak telah merdeka seutuhnya, orang fasik itu bertaubat, orang kafir telah memeluk Islam, dan si ibu diceraikan kembali, maka orang-orang ini akan memperoleh haknya kembali untuk mengasuh anaknya. Karena terpenuhi syarat dan lenyapnya penghalang hak asuh anak. (Lihat, al-mulakhos al-Fiqh, 2/353, Dr. Sholih bin Fauzan)

Nafkah Anak yang Dihadhonohi

Ayah dari anak yang dihadhonahi wajib menafkahi anaknya serta membayar upah wanita yang menghadhonahnya sesuai dengan kesanggupannya, karena kedudukan wanita yang menghadhonah seperti wanita yang menyusui, dan wanita yang menyusui anak berhak mendapat upah penyusuannya, berdasarkan firman Alloh subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He);

“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik.” (QS. ath-Tholak [65]: 6)

Kecuali, jika wanita yang menghadhonah anak tersebut melakukannya dengan suka rela, maka tidak diwajibkan memberinya upah. Besarnya nafkah dan upah bagi wanita yang menghadhonahnya disesuaikan dengan kemampuan ayahnya. Alloh subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He) berfirman;

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Alloh kepadanya.” (QS. ath-Tholaq [65: 7)

Demikianlah tulisan ringkas panduan hak asuh anak dalam Islam. Semoga tulisan ini bermanfaat.

(Red-HASMI)