Ghuluw Kepada Orang-orang Shalih

Definisi Ghuluw

ghuluw artinya melampaui batas. Dikatakan غلا- غلوا jika ia melampaui batas dalam ukuran. Alah [swt] berfirman:

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (Qs. An Nisa’: 171)

Maksudnya melampaui batas dalam mengagungkan, baik dengan perkataan maupun kepercayaan. Sedangkan maksud larangan ghuluw adalah larangan mengangkat mahluk melebihi kedudukannya yang telah Allah [swt] tetapkan kepadanya. Berarti menetapkannya pada kedudukan yang tidak sepatutnya dimiliki selain Allah [swt]. [1]

Syaikh Abdurrahman As Sa’di [rohimahu] berkata: “Allah [swt] melarang Ahli Kitab berlebih-lebihan dalam beragama. yaitu melampaui batas dan ketentuan yang disyariatkan kepada sesuatu yang tidak disyariatkan. Seperti perkataan orang-orang Nasrani dalam ghuluw mereka terhadap Isa bin Maryam dan mengangkatnya dari maqam nubuwwah dan risalah kepada maqam ketuhanan yang tidak layak disandang selain Allah [swt]. Merendahkan dan menghina Nabi adalah dilarang, maka berlebih-lebihan dalam memujinya juga dilarang.” [2]

 

Sebab Terjadinya Kesyirikan Di Alam Ini

Syirik yang pertama kali terjadi di tengah-tengah manusia disebabkan sikap ghuluw terhadap orang-orang shalih. Hal ini terjadi ketika kebodohan sudah merata dan ilmu sudah sangat sedikit. Maka syetan menghiasi manusia dengan tawassul kepada orang-orang shalih dan kemudian menyuruh untuk beribadah kepada mereka.[3] hal ini dikuatkan oleh perkataan Ibnu Abbas ra. dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala:

“Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr.” (QS. Nuh: 23)

Ibnu Abbas [Ranhu] berkata, “Ini adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh Alaihis Salam. tatkala mereka meninggal dunia, syetan membisikan kepada kaum mereka, ‘dirikanlah patung-patung pada tempat yang pernah mereka gunakan sebagai tempat pertemuan. dan namailah patung-patung itu dengan nama-nama mereka.’ orang-orang itupun melaksanakan bisikan syetan tersebut. Ketika itu patung-patung itu belum disembah. Setelah para pendiri patung-patung tersebut meninggal dunia dan ilmu agama dilupakan orang, barulah patung-patung tadi disembah. (HR. Bukhari)

Ayat ini juga menunjukkan bahwa sikap berlebihan dan melampaui batas terhadap orang-orang shalih adalah sebab terjadinya syirik dan ditinggalkannya ajaran para Nabi.[4]

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir [Rahimahu] “Bahwa Yaghuts, Ya’uq dan Nasr adalah orang-orang shalih.  Mereka mempunyai pengikut yang setia. ketika meninggal, para pengikutnya berkata, ‘seandainya kita membuat visualisasi patung mereka, tentu kita akan lebih giat beribadah.’ Mereka pun membuat patung orang-orang shalih itu. Ketika generasi telah berganti, iblis memalingkan mereka dengan mengatakan, ‘Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menyembah mereka (patung-patung tadi) dan dengan perantaraan mereka (patung-patung tadi), mereka mendapatkan hujan.’ Karena sebab itu, generasi tadi, pada akhirnya menyembah  patung-patung tersebut.”[5]

Ibnu Qayim [Rahimahu]  berkata: “banyak kalangan salaf yang berkata,’setelah mereka meninggal dunia, orang-orang pun sering mendatangi kuburan mereka, lalu membikin patung-patung mereka. Setelah masa demi masa berlalu, patung-patung tersebut akhirnya disembah.’

Al-Qurtubi mengatakan, “maksud para pendahulu mereka membuat patung orang-orang shalih itu adalah agar dapat meneladani mereka, mengingat amal shalih mereka, sehingga mereka diharapkan bisa shalih sebagaimana orang-orang shalih itu dan dapat menyembah Allah [swt] di kuburan mereka. Namun generasi berikutnya tidak mengetahui maksud generasi sebelumnya. Lalu syetan membisikan pada mereka bahwa para pendahulu mereka telah menyembah patung-patung itu dan mengagungknnya.”[6]

 

Larangan Ghuluw Dan Berlebih-Lebihan Dalam Memuji Nabi [saw]

ghuluw dalam hak Nabi muhammad [saw] adalah melampaui batas dalam menyanjungnya, sehingga mengangkatnya di atas derajatnya sebagai seorang hamba Allah [swt] dan utusan-Nya, menisbatkan kepada beliau sebagian dari sifat-sifat ilahiyah (ketuhanan). Misalnya dengan memohon dan meminta pertolongan kepada beliau serta bersumpah dengan nama beliau. Hal ini adalah bentuk ubudiyah kepada selain Allah.[7]

Dalam firman Allah [swt] :

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya.” (QS. An Nisa’:171)

Diantara bentuk ghuluw terhadap Nabi [saw] adalah meyakini bahwa beliau mengetahui yang ghaib dan tidak ada sesuatupun yang luput dari pengetahuannya. Allah [swt] telah membantah hal itu dalam firman-NYa.[8]

“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah [swt]. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. (QS.Al A’raf : 188)

“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?” Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (QS. Al An’am: 50)

“Katakanlah: “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan”. (QS. Al Ahqaf: 9)

Namun mereka lebih percaya kepada bisikan setan daripada ayat- ayat Allah [swt].

Bentuk lain dari ghuluw terhadap Nabi [saw], keyakinan bahwa beliau bisa berbuat di dunia setelah wafat, bahkan beliau bisa berkunjung kebelahan barat dan timur bumi yang beliau kehendaki. Sebagaimana yang diyakini oleh Ahmad At-Tijani[9], ia mengaku bahwa Nabi [saw] mendatangi majlisnya dan mensucikannya, juga majlis orang-orang yang mengikutinya pada jalannya yang sesat . Rasulullah [saw] bersabda :

إياكم و الغاو فإنما اهلك من كان قبلكم الغلو

 

“Jauhilah oleh kamu sekalian sikap berlebihan, karena sesungguhnya sikap berlebihan itulah yang telah menghancurkan umat-umat sebelum kalian .” (HR.Imam Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majjah dari Ibnu Abbas ra).

 

Syaikhul Islam menyatakan :”Lafadz ini bersifat umum pada semua jenis sikap berlebihan dalam hal keyakinan dan perbuatan. Melempar jumrah termasuk dari keumumman lafadz ini. seperti melempar jumrah dengan batu yang lebih besar, dengan alasan lebih mantap dari pada dengan batu yang kecil. kemudian dipertegas oleh beliau agar menghindari kebiasaan umat-umat sebelum mereka supaya terhindar dari apa yang telah membinasakan mereka. Sebab, orang yang meniru sikap umat-umat sebelum mereka dikhawatirkan akan binasa pula seperti mereka .[10]

Dalam riwayat Imam Muslim [rahimahu], dari Ibnu Mas’ud [ranhu] ,bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

هلك المتنطعو ن  – قالها ثلا ثا-

“Binasalah orang-orang yang berlebihan tindakannya” , Nabi mengucapkannya tiga kali.

kata Al Mutanaththi’  berasal dari An Nath’u yaitu, rongga atas bibir. kemudian digunakan untuk setiap yang mendalam lagi berlebihan dari sisi perkataan dan perbuatan.

Al Khaththabi mengatakan, Al Mutanaththi’ artinya orang yang mendalam dan berlebihan dalam sesuatu, membahas yang di luar batas kesanggupannya. Seperti para ahli kalam yang masuk dalam perkara yang tidak mereka perlukan dan terjun ke dalam hal yang tidak dapat dicapai oleh akal mereka.[11]

Ibnu Qayyim mengatakan, bahwa Al Ghazali berkata: “yang termasuk dalam Almuthanaththi’  adalah orang yang mendalam-dalamkan kajian detail (diluar yang ditentukan syariat)[12]

Sedangkan berlebih-lebihan dalam memuji Rasulullah [sw] dan membuat kebohongan di dalamnya disebut itra’, Rasulullah [saw] melarang hal ini, beliau bersabda:

 

لا تطروني كم أطرت النصارى ابن مريم إنما انا عبد الله فقولوا عبد الله ورسوله

“Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang nasrani berlebih-lebihan memuji Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, “Abdullah wa Rasuluh” (Hamba Allah dan utusan-Nya).” (HR. Imam Bukhari dan Muslim)

Dengan kata lain, janganlah kalian memujiku secara batil dan jangan pula berlebihan dalam memujiku. Hal ini sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap Isa bin Maryam. sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyah. karenanya, sifatilh sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku. Maka katakanlah hamba Allah [swt] dan rasul-Nya.[13]

(Red-HASMI)


 

 

 

 

 

Referensi:

  1. fathul Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh, Darul Fiqr-beirut, cetakan tahun 1412 H/ 1992 M.
  2. Tarjamah kitabut Tauhid, DR. Shalih Bin Fauzan Bin Abdullah Bin Al Fauzan, Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Jakarta, Cet I, Th 1423 H/ 2002 M.
  3. Tarjamah fathul Majid, pustaka Azzam-Jakarta, th. 1414 H/ 1994 M.
  4. Muzakarah Fil Aqidah Lid Daurat Tadribiyyah, DR. bin Sa’id As Sahimi, Maktabah Al Malik Fahd Al Wathaniyyah,Cet. XV, Th. 1423 H.
  5. Kitabut Tauhid (tarjamah), Syaikh Muhammad At Tamimi, Darul Haq, cet II, Th. 1999M.
  6. Taisirul Karimir Rahman, Syaikh Abdur RAhman bin Nashir As Sa’di, Muassasah Ar Risalah, cet I, Th. 1421 H/ 2000 M.

 

 

[1] Fathul Majid,

[2] Taisirul Karimir Rahman, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, 217.

[3] Muhzakarah Fil Aqidah lid Daurat At Tadribiyyah, DR. Shalih bin Sa’id As Sahimi,23

[4] kitabut Tauhid, Syaikh Muhammad At Tamimi,

[5] Fathul Majid, 262

[6] fathul Majid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, 265.

[7] kitab tauhid, Syaikh Shalih fauzan, 100

[8]  Tarjamah fathul Majid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, 411-412.

[9] Dia adalah pendiri tariqat Tijaniyah

[10] Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, 270

[11] Ibid.

[12] Tarjamah Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, 429.

[13] kitabut Tauhid, Syaikh shalih Fauzan, 100-101.

Check Also

IMRAN BIN HUSHAIN/Seperti Malaikat

IMRAN BIN HUSHAIN Seperti Malaikat   Pada tahun Perang Khaibar, ia datang kepada Rasulullah ﷺ …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *