Fitnah Kubro Awal Penyepelean Amanat

28 Jun 2014Redaksi Kisah Generasi Robani

Fitnah Kubro Awal Penyepelean AmanatYang dimaksud fitnah dalam kajian ini berarti peperangan, pertikaian atau perselisihan, dan perpecahan yang terjadi pada umat Islam generasi awal, karena fitnah tersebut tiada lain merupakan hal yang samar lagi rancu (syubuhat) dan berkaitan dengan masalah pelik yang menjadi polemik berlarut-larut hingga sering menjadi perbedaan pendapat. Sedangkan yang dimaksud dengan fitnah kubro atau fitnah yang besar, maka dalam kajian para ulama yang dimaksud dengan terma tersebut adalah: (1) fitnah yang terjadi pada kekhilafahan ‘Utsman bin ‘Affan , dikenal sebagai fitnah pertama; dan (2) fitnah yang terjadi pada masa kekhilafahan ‘Ali bin Abi Thalib , yang diistilahkan sebagai fitnah kedua.

Berkaitan dengan fitnah tersebut, Imam az-Zuhri  berkata:

“Fitnah pertama telah bergolak ketika para sahabat Rosululloh banyak yang masih hidup….”

Dan Imam Sa’id bin al-Musayyab  berkata:

“…setelah itu muncullah fitnah kedua, tepatnya ketika para sahabat yang ikut serta dalam perjanjian Hudaibiyah sudah tidak ada lagi. Kemudian berlanjut dengan fitnah ketiga, yang akan lenyap manakala orang-orang tidak lagi memiliki kekuatan.”

FITNAH PERTAMA

Menurut para sejarahwan, benih merekahnya fitnah dimulai dari kegerahan sebagian kalangan yang merasa tindak-tanduknya dikontrol oleh Khalifah ‘Utsman , ketidaksenangan kalangan yang suka berhura-hura dan kekhawatiran orang-orang zuhud dan wara’ yang melihat banyaknya kaum Muslimin yang terpedaya oleh harta benda dan kekayaan duniawi, atau karena hal lainnya. Walau sebenarnya “benih” fitnah ini tidak bulat seratus persen dapat diterima.

Namun yang menjadi sorotan tajam dan kajian analitis para ulama, bahwa faktor penyebab bergolaknya fitnah pertama adalah:

  1. 1.     Pengaruh Sekte Saba’iyyah.

Yaitu gerakan rahasia dalam menebar racun pemikiran dan virus aqidah yang dimasifkan oleh kegiatan dan sepak terjang ‘Abdullah bin Saba’ al-Yahudi yang kemudian berkonspirasi organik dan ideologis dengan para mantan budak (mawali) yang pura-pura menampakkan keislamannya, namun tetap bertahan dengan kekafiran lamanya yang disembunyikan, alias berkelakuan zindik. Ternyata gerakan Saba’iyah pun direspons pula oleh orang-orang pedalaman (Badui) yang belum matap keimanannya dan bertemperamen kasar.

  1. 2.     Perubahan dan pergeseran sosial.

Maksudnya, wilayah teritorial yang sudah begitu luas karena ekspansi menyebabkan perubahan keadaan negara dan semakin kompleksnya problematika masyarakat. Perubahan sosial ini berlangsung sangat cepat dan tak terduga, dengan sendirinya menyebabkan tidak memadainya pembinaan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Walaupun dapat dikategorikan sebagai hal yang positif, perubahan tersebut juga berimbas kepada kemakmuran masyarakat karena terbukanya kantong-kantong pemasukan keuangan dan banyaknya sumber daya alam yang tergali. Di sisi lain, muncul pula hal negatif, yaitu tersitanya perhatian masyarakat kepada kekayaan duniawi bahkan menyebabkan mereka condong (rakus) kepadanya. Akhirnya menyebabkan pergeseran sosial masyarakat yang sebelumnya belum pernah nampak, seperti mabuk-mabukan, pencurian, dan juga pembunuhan, serta kemaksiatan lainnya yang mulai tampak.

  1. 3.     Fanatisme kesukuan (‘ashabiyyah).

Mulanya hal ini tampak diperlihatkan oleh ketidaksukaan sebagian suku Arab terhadap kepemimpinan Quraisy, kemudian memancing perselisihan dan akhirnya memprovokasi mereka untuk “bergerak” melakukan pengepungan terhadap Khalifah ‘Utsman . Sejurus kemudian, benih fitnah yang bersemi dan bahkan ditabur merata melalui berbagai faktor penyebabnya tersebut di atas, sesuai taqdir Alloh  akhirnya mampu “menampakkan hasil” buruknya, yaitu terbunuhnya (maqtal) khalifah yang mulia, sahabat Rosululloh  yang agung, ‘Utman bin ‘Affan  sebagai seorang martir (syahid) yang dalam sebuah hadits shahih dinyatakan oleh Rosululloh :

“Wahai ‘Utsman, jika suatu hari Alloh  menjadikanmu wali bagi perkara ini (khalifah), kemudian orang-orang munafik menghendakimu untuk melepaskan bajumu yang telah Alloh pakaikan, maka jangan engkau lepas hingga kamu menemuiku.” (HR. Ibu Majah)

FITNAH KEDUA

Terjadinya fitnah kedua sudah pasti tidak terlepas dan bahkan berkaitan erat dengan fitnah sebelumnya, tepatnya sesaat setelah wafatnya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan . Akhirnya sebagai suksesi kepemimpinan, para sahabat membai’at dan melantik sahabat mulia ‘Ali bin Abi Thalib  sebagai khalifah baru. Hal inilah dalam banyak kajian sering dianggap sebagai pemicu sekaligus pemacu eksisnya fitnah kedua, yaitu pergolakan fitnah yang berkepanjangan dan datang silih berganti.

Bila diurai dengan seksama, sesungguhnya fitnah kedua ini terjadi karena beberapa faktor berikut:

  1. 1.     Dampak nyata eksisnya gerakan sekte Saba’iyyah.

Khususnya dalam hal memprovokasi pertikaian dan menyulut api peperangan di antara kedua kelompok sahabat dan para pendukungnya yang “sedikit” berbeda pandangan dalam beberapa masalah, hingga menyebabkan koyaknya persatuan kaum Muslimin dan merebaknya perpecahan di kalangan mereka.

  1. 2.     Persepsi terhadap masalah arbitrase atau perdamaian (tahkim) di antara kedua belah pihak.

Perbedaan persepsi tentang tahkimlah termasuk hal krusial yang menjadi penyebab langsung terjadinya perselisihan antara ‘Ali  beserta para pengikutnya dan sekte Khawarij.

Fitnah kedua ini juga berujung kepada terbunuhnya sahabt ‘Ali  sebagai syahid yang ditikam oleh ‘Abdur Rahman bin Muljam al-Khariji, setelah beliau  selesai menunaikan shalat Shubuh. Di samping itu, kaum Khawarij pun berusaha untuk membunuh Mu’awiyah bin Abi Sufyan  dan ‘Amr bin al-‘Ash , namun gagal.

Sejak fitnah kedua ini terjadi, kaum Muslimin menghadapi rentetan fitnah yang merajalela, ditandai dengan fenomena munculnya aliran-aliran “sempalan” yang memiliki dimensi aqidah yang berbeda-beda dan berimplikasi politik yang sangat kental.

UPAYA MENUNAIKAN AMANAH

Berkaitan dengan perselisihan dan peperangan di antara para sahabat, maka sikap terbaik kita sebagai para pengemban amanah adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam ath-Thahawi :

“Kita mencintai para sahabat Nabi, namun tidak berlebihan dalam mencintai salah seorang di antaranya. Demikian pula kita pun tidak antipati terhadap seorangpun dari mereka. Kita membenci siapa saja yang membenci mereka dan yang mereka sebutkan kejelekannya. Kita hanya menyebut mereka dalam kebaikan. Mencintai mereka merupakan pengamalan nyata terhadap agama ini. Sebaliknya, membenci mereka merupakan bentuk kekafiran dan kemunafikan serta dikategorikan sebagai tindakan melampaui batas.”

Ya Alloh , jadikanlah kami sebagai para pengemban amanat-Mu dan anugerahkanlah keimanan yang kuat lagi benar kepada kami agar dapat mencintai para sahabat  dan mengikuti mereka dalam kebajikan….

Ya Alloh , jangan Engkau jadikan kami sebagai pengikut Syi’ah Rafidhah yang dusta dalam mencintai para sahabat, atau sebagai pengikut Khawarij yang sangat antipati terhadap mereka….

Ya Alloh , jadikanlah kami sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah….