Sore itu Kereta Kencana Kyai Jongwiyat yang ditarik oleh 4 ekor kuda melaju secara perlahan keluar dari Keraton, diikuti oleh 4 kereta kencana lain sebagai pendampingnya yaitu: Kereta Kyai Kus Cemeng, Kereta Kyai Kurtho Kaharjo, Kereta Kyai Puspoko Manik dan Kereta Kyai Permali, arakan kereta kencana ini mendapat sambutan luar biasa dari puluhan ribu masyarakat Yogyakarta yang berjubel memadati sepanjang jalan Malioboro, mereka semua berantusias ingin melihat sepasang mempelai puteri mahkota dan sang pangeran yang telah melaksanakan akad nikah.
Banyaknya tamu dari luar daerah bahkan dari luar negeri yang hadir menyaksikan upacara pernikahan agung Keraton Yogyakarta, membuat kamar hotel berbintang di Yogyakarta dan sekitarnya habis dipesan dan tingkat hunian mencapai sekitar 90 persen. Inaa illaahi!
Jalur kendaraan sepanjang Malioboro ditutup, karena ratusan makanan angkringan (makanan ringan dan sesajen) memenuhi jalan utama ini. Angkringan tersebut merupakan sumbangan suka rela dari berbagai perusahaan swasta, perguruan tinggi, organisasi profesi, komunitas hobi, komunitas sosial, dan individu sebagai bentuk suka cita dan loyalitas rakyat Yogyakarta kepada Sang Raja Sri Sultan Hamengkubuwono ke-X.
Ada yang unik tapi nyata!
Lebih dari 200 wartawan media dalam dan luar negeri yang meliput acara pernikahan agung tersebut. Hanya karena mitos dan khurofat yang diyakini, maka para wartawan yang meliput prosesi hajatan diwajibkan mengenakan busana adat, dan tidak boleh mengenakan alas kaki.
Acara semeriah ini tidak akan pernah kita jumpai pada acara pernikahan pejabat tinggi manapun di negara Indonesia termasuk pada pernikahan putra atau putri Presiden.
Realita ini menunjukan sikap masyarakat Yogyakarta yang masih kental dan kuat berpegang kepada tradisi dan adat istiadat Jawa yang konon sudah ratusan tahun ritual tersebut dilaksanakan oleh para raja keraton Yogyakarta.
Peran Media Sebagai Senjata Iblis
Di era teknologi seperti saat ini, media sudah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat, saking mudahnya mengakses media, seolah tak bisa lepas dari kehidupan, namun parahnya mayoritas mereka telah menjadikan media sebagai standar dalam menilai baik dan buruknya sesuatu. Jika media memujinya, mereka akan menganggap bahwa hal itu baik, seolah-olah media itu bagaikan pembawa wahyu yang secara mutlak diyakini kebenarannya.
Rentetan ritual acara hajatan kraton Yogya inipun tak henti-henti diulas olehmedia masa, di internet, majalah, koran dan media lainnya. Bahkan di beberapastasiun televisi ditayangkan berulang kali dalam Headline Newsnya. Para tokoh dan pejabat ikut memberikan komentar positif terhadap acara hajatan ter-sebut, dengan dalih “sebagai upaya melestarikan tradisi dan kebudayaan bangsa”.
Timbangan Syar’i
Jika setiap event dari prosesi acara “Hajatan Pernikahan Keraton Yogyakarta” kita perhatikan kemudian ditimbang dengan neraca Islam, maka akan kita dapati kejanggalan berupa penodaan serta pelanggaran terhadap Islam.
Berikut adalah persiapan dan prosesi acara Hajatan Pernikahan Kraton yang telah melampaui batasan syar’i :
1) Busana pengantin keraton (setengah dada), dibutuhkan waktu 9 bulan olehPerancang Busana ternama untuk merancang busana pamer aurat tersebut,busana khas keraton yang bermotif batik semen rojo dengan mitos flora dan fauna mengandung makna “berakhlak mulia serta budi pekerti luhur”.
Dalam hadist shohih yang di riwayatkan oleh Muslim, Rosululloh telahmengabarkan bahwa diantara para penghuni neraka adalah wanita-wanita yangberpakaian tapi telanjang (membiarkan sebagian tubuh terbuka), sungguh Alloh tidak akan memasukkan mereka ke surga. Na’udzu billah
2) Sang Perias berpuasa, sebelum prosesi pernikahan dimulai, perias Puteri yang digelari abdi dalem Nyi Wedono Pujo Sembogo berpuasa sepekan penuh, tidak lain puasa tersebut dilakukan kecuali hanya demi hajatan Puteri Keraton.
Padahal Islam telah memiliki pedoman yang jelas, sebagaimana yang disabdakan Rosululloh ,
“sesungguhnya setiap amalan-amalan tergantung dari niat, dan setiap orang itu sesuai dengan apa yang diniatkannya…”(HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Jika suatu ibadah dilakukan dengan niat bukan karena Alloh semata, maka ibadah tersebut hancur lenyap serta pelakunya mendapat ancaman yang sangat keras, karena telah menyekutukan niat ibadah kepada selainNya.
Dalam hadits qudsi Alloh [swt] berfirman:
“Aku paling tidak butuh terhadapsekutu-sekutu, maka barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan ibadah yang di dalamnya terjadi persekutuan dengan Ku, akan Aku tinggalkan ia dengan sekutunya” (HR. Muslim)
3) Nyantri dan Pingitan yaitu menetap di suatu tempat atau kamar yang ter-pisah dan tidak boleh saling bertemu (antara calon kedua mempelai) selama 40 hari sebelum hari pernikahan. Sehari menjelang akad nikah, mereka berdua melakukan Siraman atau mandi.
4) “tantingan” atau pemantapan oleh sang Raja kepada puterinya dila-kukan pada sore hari, kemudian pada malam harinya sang puteri melaku-kan ritual “midodareni”, tujuannya agar para bidadari datang memberikan restu, kecantikan dan keindahannya kepada kedua mempelai.
5) Setelah Ijab Qobul atau akad nikah yang dilakukan di dalam Masjid Kraton, sang Pangeran (mempelai laki) melakukan “Sembah Sungkem” dengan mencium lutut kanan Raja Sri Sultan Hamengku Buwono ke-X.
6) Penganten edan-edanan, empat orang abdi dalem kraton memerankan dua pasang penganten yang berdandan seperti penganten namun berantakan. Bahkan terlihat seperti orang gila, makanya disebut penganten edan-edanan.
Menurut keyakinan kraton, tradisi penganten edan-edanan ini untuk membuka jalan bagi penganten dan untuk mengusir atau menolak bala, agar proses pernikahan berjalan lancar.
“Ini sebagai tolak bala’ agar acara berlangsung lancar tanpa halangan apapun, kamilah penolak balanya,” kata salah satu pemeran manten edan-edanan Nyi Mas Wedono Hamong Sumowiyardjo. (Lihat: Tolak Bala, Manten Edan-edan–an Kawal Mantu Sultan Selasa,www.detiknews.com, 18/10/2011).
Meminta perlindungan kepada selain Alloh [swt] adalah suatu penodaan yang paling agung terhadap Alloh Sang Pencipta. Mengusir bala’ dan berlindung dari gangguan makhluk halus dengan mengadakan dua pasang penganten edan-edanan yang bertingkah dan menari-nari seperti orang gila termasuk bagian dari doa (permohonan).
Yang jadi pertanyaan adalah kepada siapa permohonan itu ditujukan?
Jika permohonan perlindungan itu ditujukan kepada selain Alloh, maka jelas ini suatu kesyirikan yang nyata, sementara jika permohonan tersebut di-tujukan kepada Alloh sudah pasti ada batasan serta aturan yang jelas dan tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam lainnya seperti menutupaurat dan menjaga kehormatan diri. Sedangkan tolak bala ala keraton Yogyakarta sama sekali bukan bagian dari syari’at Islam.
Lantas ini syari’at siapa?
Walhasil, rentetan acara ritual hajatan diatas tidak dikenal dalam ajaran Islam yang telah sempurna, sementara Rosul telah menegaskan bahwa:“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami (syariat Islam), maka amalan tersebut tertolak.” (HR. al-Bukhori dan Muslim)
Seorang Muslim dikatakan Muslim ketika ia tunduk dan patuh terhadap Pedoman hidup yang telah dibuat dan disempurnakan oleh Alloh Dzat Yang Maha Sempurna…, Bukan tunduk dan patuh terhadap pedoman adat istiadat yang dibuat oleh nenek moyang penganut animisme, sekalipun di klaim sebagai raja kaum Muslimin.
Semoga Alloh [swt] memberikan hidayah dan taufiq-Nya kepada kita semua. Amin…
(Red-HASMI)