Tidak ada alasan bagi seorangpun manusia untuk tidak bersyukur kepada Alloh [swt]. Bayangkan, setelah manusia terlahir di muka bumi, semua kebutuhannya diberikan dengan sangat berlimpah, yang jikalau mau tidakakan seorangpun mampu menghitungnya. Bahkan sebelum sosok insan terlahir, telah tersedia sistem yang paling sempurna yang sudah menunggunya untuk menopang keberlangsungan hidupnya di muka bumi.
Anugerah berlimpah ini bukan hanya pada sisi fisik jasadi, Tetapi juga meliputi aspek ruhani. Manusia tidak dibiarkan berjalan di muka bumi tanpa arah dan berbuat sesuka hati, tetapi ada tuntunan wahyu yang harus diikuti jika mereka ingin selamat dunia dan akhirat. Jika mereka berpaling dari tuntunanNya pasti mereka akan binasa.
Tuntunan inilah risalah Islam yang Alloh [swt] berikan kepada para nabi dan rasul utusanNya, dimana risalah yang dibawa oleh Rosululloh Muhammad [saw] adalah penutup dan penyempurna bagi seluruh risalah sebelumnya. Tidak ada satupun manusia yang dapat meraih kebahagiaan hakiki dan kesuksesan sejati kecuali jika mereka meniti cara beragama; beraqidah, beribadah, dan berperilaku dalam seluruh aspek kehidupan sesuai tuntunan beliau [saw] .
Syari’ah Islam Jelas & Mudah
Beliau [saw] telah menyampaikan seluruh detail tuntunan syariah Islam ini dengan sangat jelas. Hal ini sebagaimana telah beliau tegaskan sebagai pesan di akhir hayatnya;
(( قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا، لاَ يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلاَّ هَالِكٌ… )).
“Sungguh, telah aku tinggalkan kalian dalam keadaan terang benderang. Malamnya seperti siang harinya. Tidaklah seorangpun sepeninggalku yang menyimpang darinya kecuali pasti binasa…” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, al-Hakim dan ath-Thobroni)
Apa saja yang mendatangkan kebaikan bagi ummatnya telah beliau jelaskan, sebagaimana segala bentuk kemudharatan dan jalan-jalannya pun telah beliau sampaikan. Intinya, jalan kebahagiaan hanya satu, yaitu syariahnya yang murni, yang tak terkotori dengan noda-noda syirik dan bid’ah. Itulah jalan yang mengantarkan manusia kepada Alloh [swt].
Alloh [swt] berfirman :
¼وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ… »
“(yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. (QS. al-An’am[6]:153)
Praktis, semua sangatlah mudah..! Kita hanya diperintahkan ber-ittiba’ (mengikuti dan mencontoh Rosululloh [saw]). Semuanya telah jelas, tak ada yang samar. Tak perlu repot ‘meracik dan meramu’ ajaran baru. Tinggal pelajari dari sumber dan metode yang benar, lalu amalkan.
Namun anehnya walaupun demikian mudahnya syariah Islam, –dari masa ke masa- banyak orang yang lebih condong ke jalan-jalan alternatif. Sibuk meramu ajaran baru, asyik mengikuti hawa nafsu, dan terbuai dorongan logika yang ‘sok tahu’.
Mengaku Cinta Tapi Dusta
Harusnya jika kita cinta maka kita ittiba’ dalam segala sesuatu kepada yang dicinta. Tapi ritual baru pun diselenggarakan. Ragam ibadah baru tanpa dalil-pun tidak sedikit yang dibuat, atau ditambah aneka rupa bentuk bilangan, tempat, atau kaifiat (cara) yang diada-adakan. Padahal hakikatnya semua itu adalah jalan-jalan alternatif yang menipu. Tata cara beragama yang telah memporakporandakan persatuan ummat yang telah diikat dalam satu syariah.
Anehnya lagi, para peramu ‘syariah baru’ (baca: bid’ah) dan orang-orang yang tertipu dengan ramuannya tak segan-segan mengklaim bahwa syariah buatan mereka, aqidah yang mereka yakini, atau amalan yang mereka lakoni adalah jalan sesungguhnya yang diridhoi Alloh [swt], berpahala besar, jalan bahagia, dan dengan demikian yang menyelisihinya atau meninggalkannya akan merugi dan celaka.
Klaim yang tak berdasar, perasaan jiwa, atau pendapat tokoh agama yang tak berlandaskan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah adalah sumber-sumber bagi penyimpangan dalam beragama. Tak sedikit pula ummat yang terhanyut dalam retorika, terbuai dengan kharisma, dan tak peduli lagi apakah Rosululloh [saw] pernah mengajarkannya kepada kita atau tidak…?
Keanehan yang seakan tak ada habisnya. Para pembuat dan pelopor bid’ah tak segan pula mengaku mencinta. Mengklaim cinta pada Alloh [swt] dan Rosul-Nya [saw]. Ketika dinasihati dan diperingatkan bahwa perbuatan (baca: tata cara beragama) mereka akan merusak dan menghancurkan Islam, malah justru mereka merasa dan mengaku sedang membela agama.
Di dalam Islam tidaklah cukup untuk menyatakan sesuatu itu benar jika tanpa landasan yang benar. Niat baik saja tak cukup menjadikan sebuah keyakinan dan ibadah menjadi baik. Harus ada dalil (al-Qur’an dan hadits shohih) yang mendasarinya, yang melegitimasi itu semua sebagai bagian dari Islam. Jika tidak, maka sebaik apapun dalam anggapan orang, sebanyak apapun yang melakoninya, semuanya hanya sia-sia, dan tak kan mungkin berbuah pahala.
Ittiba’ adalah ujian bagi orang yang mengaku cinta kepada Alloh [swt], mengklaim sebagai pembela agama-Nya, ingin mencari ridho-Nya, atau aneka ragam pengakuan lain yang serupa.
Alloh [swt] berfirman :
¼قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ»
“Katakanlah:”Jika kalian (benar-benar) mencintai Alloh, ikutilah aku, niscaya Alloh mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian”. (QS. al-An’am[6]:31)
Dengan demikian, kesesuaian tata cara dan metode beragama dengan tuntunan Rosululloh [saw] adalah bukti kebenaran cinta seseorang kepada Alloh. Jika tidak, maka semua pengakuan itu tak lebih dari klaim cinta palsu dan dusta belaka.
(Red-HASMI)