Bulan Syuro, Bulan Sial? Benarkah?

7 Dec 2011Redaksi Materi

Bulan Muharram merupakan bulan pertama dalam perhitungan tahun Islam yang sering dikenal dengan tahun Hijriyah. Di Jawa khususnya, Indonesia pada umumnya, bulan Muharram dikenal dengan istilah Syuro.

Bagi sebagian pihak bulan Syuro mempunyai nilai tersendiri. Jika bagi umat Islam bulan Muharram mengandung hari yang disunnahkan untuk melakukan puasa sunnah. Di hari itu pula Nabi Musa diselamatkan dari kejaran Fir’aun. Sementara itu kaum penganut agama Syi’ah Rafidhah menganggap Muharram sebagai bulan kesedihan dan kesialan, demikian pula sebagian orang di Indonesia dalam memandang bulan Syuro.

Di Indonesia ada sebuah pantangan yang berlaku khusus di bulan Syuro. Pernikahan tidak boleh dilakukan pada bulan ini. Bila nekat maka akan terjadi bencana dan malapetaka atau ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Tidak diketahui secara pasti dari mana asal-usul keyakinan ini. Sebagian analis mengemukakan penelitiannya bahwa ini tidak lebih dari sekadar politik pihak keraton/kerajaan waktu itu.

Di bulan Syuro biasanya keraton punya gawe berbagai macam ritual. Ritual-ritual yang dilakukan hampir seluruhnya sarat dengan noda-noda kesyirikan. Agar acara keraton dihadiri rakyatnya maka dimunculkan keyakinan bahwa selama bulan itu rakyat tidak boleh melangsungkan hajatan. Tujuannya agar rakyat berbondong-bondong menyukseskan acara keraton.

Padahal sungguh telah datang penjelasan di bulan Asy-syuro tentang keutamaan puasa Asysyuro dalam hadist Abu Qotadah bahwa Nabi shalallaahu ‘alaihi wassalam ditanya tentang puasa Asysyuro maka beliau bersabda : “Menghapus dosa – dosa setahun yang lalu” dan dalam riwayat lain : “Puasa Asysyuro, aku  berharap bahwa Allah akan menghapus dosa tahun yang sebelumnya” (HR Muslim no 1162). Dan dalam hadist yang lain  : “barang siapa yang puasa Asysyuro maka Allah akan mengampuninya dosa – dosa selama setahun ” (HR Al Bazzar, lihat : Mukhtashor Zawaid al Bazzar 1/407, dihasankan oleh Al Albani dalam Shohih at Targhib wa Tarhib 1/422). Bahkan sesungguhnya puasa tersebut sebanding dengan puasa setahun sebagaimana dalam sebuah riwayat : “itu adalah puasa setahun” (HR Ibnu Hibban 8/394,3631, Syu’aib Al Arnauth berkata : “sanadnya sesuai syarat muslim”).

Ibnu ‘abbas menggambarkan semangat Nabi shalallaahu ‘alaihi wassalam untuk berpuasa padanya. Beliau berkata : “Aku tidak melihat Nabi begitu perhatian terhadap sebuah puasa yang beliau utamakan dari yang lain, selain hari ini yaitu hari Asysyuro dan bulan ini yaitu bulan Ramadhan ”.(HR Al Bukhori 2006). Ibnu Hajar mengatakan : “Ini tidak berarti lebih mengutamakannya dari pada hari arofah , karena sesungguhnya puasa ini (hari arofah -pent) menghapus dosa dua tahun, dan teristimewakan dengan tambahan keutamaan karena ada ibadah-ibadah, ampunan dan pembebasan (dari api neraka) yang terjadi padanya. Kemudian sesungguhnya (puasa) ini diapit oleh bulan – bulan harom sebelum dan sesudahnya dan juga puasa ini termasuk diantara kekhususan syariat kita lain halnya dengan Asysyuro, sehingga puasa ‘Arofah dilipat gandakan karena barokah Al Musthofa”  (Al Fath : 4/292).

Terlepas dari asal usul keyakinan nyleneh tersebut, kekritisan umat Islam harus diasah dengan kekuatan tauhid. Bagaimana mungkin sebuah waktu, baik hari atau bulan maupun tahun mampu mendatangkan bencana atau memberikan keberuntungan. Ternyata keyakinan salah seperti itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Di tanah Arab pun ada keyakinan bulan sial untuk sebuah pernikahan. Bedanya kalau di Indonesia berlaku di bulan Syuro/Muharram di tanah Arab berlakunya pada bulan Shafar.

Setan memang akan berusaha sekuat tenaga untuk menyesatkan manusia, dengan halus maupun kasar. Bagi sebagian orang mungkin berdalih toh keyakinan itu demi kebaikan dan keselamatan suami istri. Meski seakan-akan menawarkan kebaikan, tetapi sambil menyuntikkan racun mematikan. Kebaikan yang ditawarkan adalah semu, sementara racun syirik yang disuntikkan adalah kenyataan tak terbantahkan. Akankah seorang Muslim berusaha mengayuh keselamatan yang dibangun di atas angan-angan dengan merusak rasa kepercayaan kepada tauhid?

Berikut adalah fatwa dari sebagian ulama tentang masalah bulan sial dan kesialan yang masih dipegangi oleh sebagian orang.

 Pertanyaan (1) :

Pada hari kesepuluh Muharam, sebagian orang memperbanyak makanan untuk keluarganya. Para khatib/penceramah pun menjelaskan keutamaan-keutamaannya dari sisi diniyah dan duniawiyah serta kedudukannya. Sebagian orang menyatakan mendapatkan rasa keberkahan pada harta.

Jawaban:

Yang disyariatkan ketika itu adalah berpuasa sunnah, yaitu pada hari kesepuluh dan hari kesembilan bulan Muharam atau (hari kesepuluh dan hari) kesebelas. Jika para khatib/penceramah dan para guru menganjurkan dan menjelaskan kepada orang-orang keutamaan puasa tersebut, maka itu suatu kebaikan. Adapun memperbanyak makanan untuk keluarga pada hari itu dengan keyakinan bahwa hal itu disyariatkan dan sebagai keutamaan baginya, maka bid‘ah (tidak ada asalnya). Hadits-hadits yang menerangkan keutamaan memperbanyak makanan untuk keluarga pada waktu itu adalah (hadits-hadits yang) tidak shahih.

Pertanyaan (2) :

Kita sering mendengar kepercayaan-kepercayaan (di masyarakat) bahwa pada bulan Shafar tidak boleh melangsungkan pernikahan, khitan, atau semisalnya (karena dianggap bulan sial). Kami berharap Syaikh sekalian dapat menjelaskannya kepada kami menurut syariat Islam. Semoga Allah senantiasa menjaga Syaikh sekalian.

Jawaban:

Apa yang disebutkan penanya tentang larangan/pantangan melangsungkan pernikahan atau khitan dan semisalnya di bulan Shafar adalah salah satu jenis/bentuk tasya-um (merasa sial) [1] dengan bulan itu. Ber-tasya-um dengan bulan atau hari atau burung atau hewan lainnya tidak dibolehkan berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):

Tidak ada ‘adwa (wabah)[2], tidak ada thiyarah[3], tidak ada burung hantu[4], dan tidak ada shafar[5].”[6].

Ber-tasya-um dengan bulan Shafar termasuk jenis thiyarah yang terlarang. Ia termasuk perbuatan yang biasa dilakukan orang-orang Jahiliyah dahulu dan telah dibatalkan oleh Islam.

Wabillahit taufiq. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga dan para sahabatnya.

Fatwa dikeluarkan oleh al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta’; Ketua: Abdul-Aziz bin ‘Abdullah bin Baz; Wakil Ketua: Abdur-Razzaq Afifi; Anggota: ‘Abdullah bin Ghadiyyan [7]

 

Catatan Kaki :

[1]. Merasa pesimis, meramalkan akan mendapatkan kesialan, bencana, dan kemalangan  dengan sesuatu yang tidak berdasar.

[2]. Maksud tidak ada ‘adwa (wabah) bukan menolak keberadaan wabah, akan tetapi menolak keyakinan bahwa wabah itu berpindah-pindah secara sendirinya. Yang benar dalam masalah wabah ini, bahwa penyakit yang menjangkit pada orang, hewan atau tumbuhan yang kedua, ketiga dan seterusnya di daerah epidemi keberadaannya sama seperti ketika Allah menjangkitkannya kepada orang yang pertama, langsung, tanpa melalui penularan, yang kesemuanya dengan kehendak Allah. Karena jika Allah berkehendak, sekalipun orang, hewan atau tumbuhan itu berada di tengah-tengah daerah epidemi dia tidak akan terjangkiti. Hal ini menunjukan bukan penyakit itulah yang muncul/menyebar secara sendirinya, tetapi Allah-lah yang mengadakannya.

[3]. Thiyarah adalah istilah yang diambil dari kata thairah yang dalam bahasa Arab berarti burung. Maksudnya, menerbangkan seekor burung apabila akan melakukan sesuatu atau ketika akan mengadakan perjalanan. Hal ini dilakukan oleh orang-orang Arab Jahiliyah untuk mengetahui apakah dia akan tetap melakukan rencananya atau tidak. Jika burung yang diterbangkan itu terbang berbelok ke kanan, dia berkeyakinan bahwa akan mendapatkan keberuntungan, maka dilakukannyalah apa yang menjadi rencananya. Sebaliknya, jika burung itu berbelok ke arah kiri, diyakini bahwa akan menemui kesialan, maka dibatalkanlah rencananya. Keyakinan inilah yang ditiadakan Islam, bahwa keberuntungan dan kesialan semuanya hanyalah datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sesuai dengan kehendak-Nya.

[4]. Hamah berarti burung hantu. Maksud penolakan disini bukan menolak keberadaan hewan tersebut, akan tetapi menolak keyakinan salah orang Arab Jahiliyah ketika itu bahwa apabila burung itu hinggap di salah satu rumah, maka penghuni rumah tersebut meyakini akan ada musibah atau kematian terhadap dirinya atau karib kerabatnya. Atau keyakinan salah lainnya bahwa burung itu adalah penjelmaan dari ruh orang yang telah mati. Keyakinan khurafat jahiliyah Arab ini pun tersebar di tengah masyarakat Indonesia sampai saat ini; padahal Islam masuk ke Indonesia berabad yang silam.

[5]. Shafar di sini memiliki dua makna. Pertama adalah hewan yang hidup di dalam perut yang oleh orang Arab jahiliyah dahulu diyakini dapat membunuh. Kedua adalah nama bulan yang diyakini sebagai bulan sial. Nabi menolak hal ini karena di dalam Islam keberuntungan dan kesialan hanyalah datang dari Allah.

[6]. Shahih al-Bukhari VII/17, Shahih Muslim XIV/213, Musnad Ahmad I/174, dan Sunan at-Tirmidzi IV/161.

[7]. Fatawa li al-Lajnah ad-Daimah lil-Buhuts al-Ilmiyah wal-Ifta’ I/658 dan III/77-78.

Pantaskah kepercayaan-kepercayaan tersebut selalu menyertai kita …? Sedangkan petunjuk yang benar telah banyak kita temui dan dapati.? (Admin-HASMI).

 

.:: Wallahu Ta’ala ‘Alam ::.