BULAN MUHARRAM, ANTARA IBADAH DAN TRADISI
Oleh: Apud Saputra, M.Pd.I.
1 Muharram merupakan awal tahun baru Hijriyyah (kalender Islam), dimana awal tahun kalender ini adalah peristiwa hijrahnya nabi Muhammad Shollallohu’alaihiwasallam dari Makkah ke Madinah (622 M). Sebetulnya awal digunakannya patokan penanggalan ini dimulai pada saat pemerintahan khalifah ‘Umar bin Khaththab Rodhiyallohu’anhu. Bulan ini termasuk salah satu dari empat bulan haram (suci), sebagaimana firman Alloh Subhanahuwata’ala:
“Sesungguhnya bilangan bulan disisi Alloh adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Alloh diwaktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam yang empat itu….” [Q.S. at-Taubah (9) : 36].
Semua ahli tafsir sepakat bahwa empat bulan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah bulan Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharam dan Rajab.
Pada bulan Muharram ada satu hari yang dikenal dengan sebutan hari ‘Asyura. Orang-orang jahiliyah pada masa pra Islam dan bangsa Yahudi sangat memuliakan hari ini. Hal tersebut karena pada hari ini Alloh Subhanahuwata’ala selamatkan Nabi Musa ‘Alaihissalam dari kejaran Fir’aun dan balatentaranya. Bersyukur atas karunia Alloh Subhanahuwata’ala kepadanya, Nabi Musa ‘Alaihissalam akhirnya berpuasa pada hari ini. Tatkala sampai berita ini kepada Nabi Muhammad Shollallohu’alaihiwasallam melalui orang-orang Yahudi yang tinggal di Madiah, maka beliau bersabda; “Saya lebih berhak terhadap Musa dari kalian (kaum Yahudi)”. Adalah Abdullah ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu’anhu yang menceritakan kisah ini kepada kita tentang hal tersebut sebagaimana yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim sebagai berikut:
“Sewaktu Rosululloh Shollallohu’alaihiwasallam tiba di Madinah, beliau melihat orang- orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Lalu beliau bertanya, ‘Apakah ini?’ Mereka menjawab, ‘Hari ini adalah hari yang baik, hari yang Alloh selamatkan Bani Israil dari musuh mereka. Kemudian, nabi Musa berpuasa’. Lalu Rosululloh Shollallohu’alaihiwasallam bersabda, ‘Saya lebih berhak terhadap Nabi Musa ‘Alaihissalam dari kalian (orang Yahudi)’. Kemudian, beliau berpuasa dan memerintahkan (para sahabat) supaya berpuasa pada hari tersebut’.” [HR. Bukhari dalam shahihnya diterbit-kan bersama Fath al Bāri, IV,244, Kitab ash Shaum, hadits no.2004. Muslim dalam shahihnya, II, 792, Kitab ash Shaum, no. 1130]
Di masa hidupnya Nabi Shollallohu’alaihiwasallam berpuasa di hari ‘Asyura. Kebiasaan ini bahkan sudah dilakukan beliau Shollallohu’alaihiwasallam sejak sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan dan terus berlangsung sampai akhir hayatnya.
Dilain hal, shaum ‘Asyura memiliki keutamaan yaitu dapat menggugurkan dosa-dosa setahun yang lalu. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Qatadah Rodhiyallohu’anhu Rasululloh Shollallohu’alaihiwasallam bersabda; “…Dan shaum hari ‘Asyura, pahalanya disisi Alloh Subhanahuwata’ala dapat menghapus dosa setahun sebelumnya.” [HR. Ahmad dalam Musnadnya,V,296-297; Muslim dalam Shahihnya,III,818-819, Bab “Puasa” No.1163. Abu Daud dalam Sunannya,III,807-808, Bab “Puasa” No.3435.]
Dari uraian di atas jelas sekali amalan-amalan ibadah di bulan Muharram tersebut sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasululloh Shollallohu’alaihiwasallam yaitu berupa shaum (puasa) yang ketetapannya pada tanggal 9 atau 10 Muharram. Berbeda dengan orang-orang yang membuat amalan tertentu di bulan Muharram tersebut dengan amalan-amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rosululloh Shollallohu’alaihiwasallam dan para shahabatnya, yang erat kaitannya disandarkan kepada adat dan tradisi di daerah mereka.
Pada awal Muharram, yang sering dikenal dengan istilah 1 Suro, di tanah air sering diadakan acara ritual dan adat yang beraneka macam bahkan tidak jarang mengarah pada kesyirikan. Bulan Muharram (suro) dalam kacamata masyarakat, khususnya Jawa, merupakan bulan keramat. Sehingga mereka tidak punya keberanian untuk menyelenggarakan suatu acara terutama hajatan dan pernikahan. Bila tidak diindahkan akan menimbulkan bencana dan kesengsaraan bagi kedua mempelai dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Maka kita lihat, bulan ini sepi dari berbagai acara.
Selain itu, untuk memperoleh keselamatan diadakan berbagai kegiatan. Sebagian masyarakat mengadakan tirakatan pada malam satu suro (muharram), entah di tiap desa atau tempat lain seperti puncak gunung. Sebagiannya lagi mengadakan “nyadranan”, berupa pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi aneka lauk dan kembang lalu dilarung (dihanyutkan) di laut selatan disertai dengan kepala kerbau. Mungkin supaya sang ratu pantai selatan berkenan memberikan berkahnya dan tidak mengganggu. Peristiwa ini dapat disaksikan di pesisir pantai selatan seperti Tulungagung, Cilacap, dan tempat lainnya. Sungguh ritual ini tidak benar disandarkan kepada ajaran Islam karena merupakan bagian dari amalan kesyirikan dan kekufuran kepada Allah Subhanahuwata’ala dan juga bukan merupakan ajaran yang dibawa oleh Rosululloh Shollallohu’alaihiwasallam.
Acara lain yang menyertai bulan Muharram (suro) dan sudah menjadi tradisi adalah kirab (diarak) kerbau bule yang terkenal dengan kyai slamet di keraton Kasunan Solo. Ini merupakan acara yang sangat dinantikan oleh “warga” Solo dan sekitarnya karena mereka berkeyakinan akan mendatangkan keberkahan dari sang kerbau supaya rizkinya lancar dan lain sebagainya. Dan acara-lainnya yaitu memandikan benda-benda pusaka dan kirab keliling keraton. Nau’udzubillah mindzalik, kesyirikan akbar.
Berbeda pula dengan Syi’ah dalam menyambut bulan Muharram. Mereka menjadikan hari Asyuro (10 Muharram) sebagai hari berkabung, bersedih, meratap dan menyakiti badan. Mereka melakukan hal itu untuk memperingati hari terbunuhnya Husain bin Abi Thalib Rodhiyallohu’anhu. Pada hari tersebut mereka berkabung, bersedih, menangis dan meratap bersama disertai menampar-nampar pipi (atau menyakiti anggota badan lainnya), merobek-robek pakaian dan meneriakan ucapan-ucapan berlebih- lebihan kepada Husain bin Ali bin Abi Thalib Rodhiyallohu’anhuma. Padahal Alloh Subhanahuwata’ala dan Rosul-Nya telah memerintahkan untuk bersabar, mencari pahala dan mengembalikan diri (kepada Alloh Subhanahuwata’ala) dari setiap musibah yang menimpa.
Alloh Subhanahuwata’ala berfirman: “Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innaa Lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun’. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang- orang yang mendapat petunjuk” [Al-Baqarah (2) : 155-157]
Rasululloh Shollallohu’alaihiwasallam melarang perbuatan-perbuatan di atas dalam sabdanya: “Bukan golongan kami orang yang memukuli pipi, merobek pakaian, dan berdo’a dengan do’a jahiliyah.” [HR. Bukhari dalam shahihnya, kitab al-Janā’iz, hadits no. 1294]. Dan lebih buruk pula, cerita kematian Husein pun telah mereka palsukan. Padahal mereka sendirilah yang membunuhnya. Hati-hati jangan tertipu..!!
Di dalam Islam, Asyura’ tidak diisi dengan kesedihan dan penyiksaan diri (seperti syiah), tidak diisi dengan pesta dan berhias diri dan tidak diisi dengan ritual di tempat-tempat keramat atau yang dianggap suci untuk tolak bala’ (Kejawen) bahkan tidak diisi dengan berkumpul-kumpul. Namun yang ada hanyalah puasa Asyura’ sebagaimana Rasululloh Shollallohu’alaihiwasallam berpuasa pada hari itu, bahkan menganjurkannya kepada para shahabatnya.
Jangan sampai seorang muslim mudah terbawa oleh budaya atau ritual agama lain dalam menjalankan ibadah pada Alloh Subhanahuwata’ala. Ajaran yang dibawa Rasululloh Shollallohu’alaihiwasallam telah jelas dan sempurna tidak layak bagi kita untuk menambah atau menguranginya. Karena sebaik-baik pedoman adalah kitabulloh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk beliau, yang tidak ada keselamatan kecuali dengan berpegang kepada keduanya dengan mengikuti pemahaman para sahabat, tabi’in dan penerus mereka yang setia berpegang kepada sunnahnya dan meniti jalannya. Adapun hal-hal baru dalam masalah agama adalah sesat sedangkan kesesatan itu akan menghantarkan ke neraka, wal’iyadzubillah
Sumber : Materi Majalah INTISARI HASMI Vol. 0001 Rubrik Budaya-Budaya Munkar di Indonesia