POKOK-POKOK PEMIKIRAN TASAWWUF
- Mereka meyakini bahwa agama adalah syari’at dan hakikat. Syari’at adalah sesuatu yang nampak dari agama, dan syari’at juga dapat di gunakan sebagai pintu masuknya semua orang. Sedangkan hakikat adalah yang batin, yang tidak dapat diraih kecuali oleh orang-orang yang baik dan pilihan.
- Tasawwuf menurut mereka adalah tarekat dan hakekat sekaigus.
- 3. Di dalam tasawuf harus ada pengaruh ruhani dari Syaikhnya, karena dengannya akan mencapai derajat hakekat.
- Harus melakukan dzikir, melakukan renungan ruhani dan memusatkan pikiran tentang Allah sehingga mencapai derajat yang paling tinggi yaitu derajat “WALI”.
- Al- Fana, pemikiran ini di pelopori oleh Abu Yazid Al-Bushthamy yang menukil dari syaikhnya Abi Aly As-Sindy. Pokok ajaran ini adalah apabila seorang hamba sudah tinggi mahabbahnya (cintanya) kepada Allah, maka akan melupakan perkara yang lainnya. Seakan-akan yang ada hanya ia dengan Allah saja.
- 6. Al-Ghazali berpendapat, bahwa akal saja tidak cukup untuk dijadikan sarana mrnuju ma’rifat. Tetapi harus ada satu kekuatan lain dibalik kekuatan akal yang bisa membuka mata hati, dimana manusia dapat mengetahui yang ghaib dan yang akan terjadi di masa yang akan datang. Itu semua tidak dapat di capai kecuali oleh orang yang memilki iman seperti imannya orang-orag arif yang bisa menyaksikan dengan cahaya keyakinan. Hal itu di dasarkan kepada keajaiban mimpi yang sejati juga berita-berita dari Nabi Shallallahu ‘Alaihhi Wasallam tentang hal-hal yang ghaib dan masalah-masalah yang akan datang. (Lihat, Al-Mausu’ah Al-Muyassarah : 256-267)
- Mereka meyakini tentang adanya ilmu “Laduni” yang di kaitkan dengan firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam surah Al-Kahfi ayat 65 :
وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَّدُنَّا عِلْمًا
“… dan kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami .”
Menurut mereka adalah disingkapnya alam ghaib bagi mereka yaitu dengan Kasyaf (penyingkapan), tajliyat (penampakan) serta melakukan kontak langsung dengan Allah Subhanahu Wata’ala serta Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.
Mereka berdalih dengan firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 282 :
…وَاتَّقُوْا اللهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللهُ…
“… Dan bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajari kalian semua…”
Pemikiran ini dipelopori oleh Hisyam Ibnu Al-Hakam (199 H), seorang Syi’ah yang mahir ilmu kalam. Ia berasal dari Kufah. (Lihat : Minhajus Sunnah : 226).
KAFIRKAH MEREKA…?
Syaikh Zainudin Al-‘Iraqy dalam mengomentari firman Allah Subhanahu Wata’ala :
(أَنَا رَبُّكُمُ الأَعْلَى. فَأَخَذَاللهُ نَكَالَ الأَخِرَة وَالأُوْ لَى)
ia berkata : “Tidak diragukan lagi bahwa orang yang berkata seperti ini – seperti banyak yang telah diucapkan para tokoh Sufi seperti Abu Yazid Al-Bushthami dan yang lainnya – kemudian ia meyakininya padahal dia adalah orang yang masih barakal (tidak gila) tidak pula dipaksa atau berada di bawah takanan untuk mengucapkannya, maka ia telah kafir tanpa perlu ditakwil lagi. Ini adalah pendapat jumhur ‘Ulama yang tidak ada perselisihan didalamnya .”(Lihat : Tanbiihu Al-Ghaby ila takfiri Ibnu ‘Araby : 134).
Al-‘Alamah Syaikhul Islam Taqiyyuddin ‘Ali bin Abdul Kafy As-Subky Asy-Syafi’I berkata : “Barangsiapa yang bersama dengan orang Sufi muta’akhirin seperti Ibnu ‘Araby, maka mereka adalah sesat lagi jahil. Mereka telah keluar dari jalan Islam dan menyelisihi para ‘Ulama”.
Syaikh Abu Muhammad bin ‘Abdul Aziz bin ‘Abdussalam Ad-Dimasqy ketika ditanya tentang Ibnu ‘Araby, beliau berkata : “Ia seorang yang jelek lagi pembohong, perkataannya mendahului perkataan para ‘Ulama dan tidak bisa menjaga kemaluan”. (Lihat : Tanbiihu Al-Ghaby ila takfiri Ibnu ‘Araby : 152).
Syaikh Najmuddin Muhammad bin ‘Uqail Al-Balisy Asy-Syafi’i (beliau pernah mulazamah bersama Ibnu Daqiq, wafat tahun 729 H), berkata : “Barangsiapa yang membenarkan atau Ridha dengan maqalah yang bathil ini – yaitu kitab Fushushul Hikam karangan Ibn ‘Araby dan At-Taiyyah Al-Kubra karangan Ibnu Faradz – maka dia telah Kafir, dan halal darahnya untuk ditumpahkan (dibunuh), tidak bermanfaat taubatnya – menurut Imam Malik sebagian shahabat Syafi’I. Barangsiapa yang mendengar maqalah ini, maka wajib mengingkari dengan lisannya, bahkan wajib mengingatkan orang yang mengatakannya, dengan cara pukulan, atau di cerca dengan lisannya, apabila tidak mampu dengan lisannya, wajib Mengingkarinya dalam hati, dan itu adalah selemah-lemahnya Iman… ”[] Redaksi.
..:: WALLAHU A’LAM BIS SHAWWAB ::..