Aljazair, negeri yang terletak di kawasan Afrika Utara ini, merupakan salah satu negeri Islam yang penuh konflik. Perjuangan umat Islam di Afrika hingga saat ini masih belum berhenti. Negeri ini juga menjadi contoh bagaimana sistem 'demokrasi' menampakkan kebusukannya. Demokrasi yang diagung-agungkan sebagai sistem terbaik ternyata hanya omong kosong belaka. Negeri ini juga merupakan contoh sangat nyata bagaimana rekayasa kekerasan terus berlangsung hingga kini untuk menyudutkan perjuangan umat Islam. Negeri ini juga menjadi saksi, bagaimana wajah ketakutan bangsa Barat melihat kemenangan perjuangan Islam.
Aljazair, yang sering pula disebut dengan nama Al-Jumhuriya Al-Jaza'iriya ad-Dimuqratiya asy-Sya'biya, memakai bahasa Arab sebagai bahasa resmi, di samping bahasa Prancis dengan dialek Barbar.
Secara historis, Aljazair memiliki sejarah yang cukup panjang; mengalami pasang surut peradaban. Sejak 40 SM, daerah ini telah diperintah oleh Bangsa Romawi; tahun 429 – 534 dikuasai oleh Vandals; dan tahun 534 – 690 di bawah kekuasaan Bizantium (Romawi Timur) yang beragama Nasrani.
Islam masuk ke negeri ini pada akhir abad ke-7 M, pada masa Khilafah Bani Umayah sekitar abad 682 M. Diawali dari Tunisia, tentara Islam terus berdakwah dan berjihad, bergerak ke arah Barat. Mereka membebaskan sejumlah bangsa Barbar seperti Aljazair, Maroko, Libya, dan wilayah Magribi dari penjajahan bangsa Romawi, untuk hidup dalam naungan Islam yang damai.
Bersamaan dengan kemunduran Dunia Islam, penjajah Prancis masuk ke wilayah ini. Genderang jihad pun diserukan untuk mengusir penjajah. Perlawanan demi perlawanan terus berlanjut sampai kemudia Prancis harus mengakui kemerdekaan Aljazair pada tahun 1962. Namun, seperti pada negeri-negeri Islam lain, kemerdekaan ini menjadi semu, karena kemudian yang berkuasa di Aljazair adalah agen-agen Prancis sendiri. Aljazair kemudian menjadi negara sekuler dengan sistem republik yang dipimpin oleh boneka dan kader-kader binaan Prancis.
Dengan menjadi negara sekuler, Aljazair menjadi negara yang sangat bergantung pada Prancis; terjerat dalam sistem sekuler yang hanya menguntungkan negara asing dan para penguasa sekuler.
Kondisi menyedihkan akibat sistem sekuler ini mendorong munculnya gerakan-gerakan Islam yang menyerukan kembali ke jalan Islam. Sistem sekuler dianggap telah gagal dan jalan yang menyelamatkan hanyalah Islam. “Islam adalah Solusi”, demikian opini dibangun oleh gerakan-gerakan Islam di Aljazair.
AQIM
Di antara gerakan Islam yang hadir di dalam mewarnai suhu perpolitikan di Aljazair adalah AQIM atau Al-Qaeda Islamic Maghreb. Tujuannya pun tentu sangat jelas, yaitu menghancurkan tirani Prancis yang bercokol di atas pemerintahan boneka yang ada di sana. Namun, sebelum menjadi salah satu organisai yang paling ditakuti di wilayah Afrika Utara itu, harakah ini dikenal juga dengan nama Salafist Group for Preacing and Combat yang dalam bahasa Arabnya adalah Al-Jamaa’ah As-Salafiyyah lid Da’wah wal Qital. Dalam bahasa Prancis kelompok ini disebut Groupe Salafiste pour la Predication et le Combat, disingkat dengan GSPC; dan juga dikenal dengan nama Group for Call and Combat. Harakah ini adalah kelanjutan dari harakah GIA atau Armed Islamic Group sebuah harakah salafi jihadi yang memiliki tujuan untuk menurunkan pemerintahan boneka AlJazair dan mendirikan Negara Islam.
Al Jamaa’ah As Salafiyyah lid Da’wah wal Qital atau GSPC ini didirikan oleh Hassan Hattab, seorang pendiri GIA (Armed Islamic Group) komandan regional yang keluar dari GIA di tahun 1998 yang memprotes atau tidak setuju dengan pembunuhan warga sipil oleh GIA. Setelah amnesti di tahun 1999, beberapa pejuang GIA menggantung senjata mereka, namun beberapa yang lain tetap aktif, termasuk anggota-anggota GSPC. Saat ini anggota GSPC diperkirakan berjumlah 4000-an pejuang. Di bulan September 2003, kedudukan Hattab sebagai pimpinan pusat GSPC digantikan oleh Nabil Sahraoui (Syekh Abu Ibrahim Mustapha), berumur 39 tahun, seorang komandan senior yang ditengarai memiliki koneksi dengan Al-Qaeda. Tidak beberapa lama setelah penggantian ini, Sahraoui wafat di bulan Juni 2004, dan posisinya langsung digantikan oleh Abu Musab Abdul Wadud.
Sebuah pecahan atau kelompok menyempal dan disebut dengan Kelompok Hattab’s, menjadi Free Salafist Group (GSL), dipimpin oleh El Para, ditengarai melakukan penculikan 32 turis Eropa di AlJazair sekitar awal 2003. Beberapa sumber yang lain mengklaim bahwa gerakan ini didalangi oleh intelejen AlJazair sendiri.
Di bulan Maret 2005, beberapa sumber di GSPC menyatakan menyetuji inisiatif rekonsiliasi yang ditawarkan oleh pemerintah. Di bulan Maret 2006, pimpinan awal kelompok ini, Hassan Hattab, meminta para anggotanya untuk menerima amnesti dari pemerintah. Tetapi di bulan September 2006, pimpinan Al-Qaeda, Ayman al-Zawahiri mengumumkan sebuah “penyatuan yang penuh berkah” di antara mereka dan mendeklarasikan bahwa Prancis adalah musuh. Mereka mengatakan akan bekerja bersama melawan Prancis, dan kepentingan-kepentingan Amerika. Di bulan Januari 2007, GSPC mengumumkan nama baru yang menunjukkan aliansi mereka dengan Al-Qaeda.
Abu Musab Abdul Wadud yang sebelumnya adalah pimpinan Al-Jama’ah As-Salafiyyah Lid Da’wah wal Qital adalah sosok yang berhasil menggabungkan harakah tersebut dengan harakah jihad global, Al-Qaeda. Pada hari Rabu, tanggal 13 September 2006, beliau mengumumkan penggabungan jama’ah tersebut.
Dalam peryataan beliau yang dipublikasikan luas di beberapa situs salafi jihadi, Syekh Musab Abdul Wadud menyatakan bahwa sebelum bergabung mereka telah berhubungan selama kurang lebih setahun.
Syekh Abdul Wadud menyatakan bahwa alasan penggabungan jama’ah ini adalah dikarenakan musuh, kaum kuffar telah bersatu padu dalam menghancurkan Islam dan kaum Muslimin, di Al Quds, Irak, dan Afghanistan. Untuk itu, wajib bagi mujahidin untuk bersatu menghadapi setan-setan yang telah bersatu padu. Wajib bagi kita untuk menghadapi koalisi dengan koalisi, ungkapnya lagi.
Syekh Abdul Wadud juga menyatakan keyakinannya bahwa penggabungan jamaah salafiyyah lid da’wah wal qital dengan Al-Qaeda akan membuat para salibis marah dan bersedih. Untuk itu, beliau sepakat, setelah bermusyawarah dan memohon petunjuk Alloh untuk yang terbaik, yakni menggabungkan diri dengan Al-Qaeda, dan meneruskan jihad di AlJazair sebagai jundullah.
Beliau juga mengatakan bahwa penggabungan yang dilakukan sedikit banyak juga karena mereka telah belajar dari pengalaman yang panjang dan pahit dalam gerakan jihad bahwa penggabungan adalah hal yang terbaik dan yang terburuk adalah berpecah belah.
Penggabungan adalah alasan utama untuk menyelamatkan kita dari kesesatan dan kejahatan yang lain. Ini adalah untuk gerakan jihad secara umum terutama yang baru tumbuh tanpa pengalaman, dan niscaya perpaduan akan membawa kejayaan dan perpecahan adalah puncak kekalahan.
Peryataan dan harapan di atas teryata terbukti, alhamdulillah. Dengan penggabungan tersebut, Mujahidin di AlJazair memiliki kekuatan yang berlipat-lipat, terutama kemampuan tempurnya. Disebut-sebut nama Syekh Abu Mus’ab Asy Syuri penulis kitab Da’wah Al Muqawwamah Al Islamiyah Al ‘Alamiyah, memiliki andil besar dalam melipatgandakan kekuatan jamaah Salafi lid Da’wah Wal Qital yang kemudian mendeklarasikan diri sebagai tandzim Al-Qaeda biladil Maghrib Islami tersebut. Dan serangan-serangan yang gencar dilakukan kepada murtaddin AlJazair adalah hasil kongkrit dari penggabungan tersebut.
Aksi-aksi syahid mereka bahkan telah mereka publikasikan dalam situs-situs dan forum-forum jihad internasional. Misalnya di Forum Al Firdaus. Bahkan Forum Al Firdaus telah merilis video terjemahan Badr Al Magribil Islam, yang berisi serangan Mujahidin Al-Qaeda Al Jazair tersebut.