Adakah Dalil Lafazh Niat Dalam Shalat ?

25 Apr 2014Redaksi Konsultasi

Assalamu’alaikum

Saya telah membaca beberapa buku tentang tuntunan sholat mulai dari umum hingga yang import. 

Saya telah mendapatkan berbagai dalil mengenai teks bacaan/lafadz dari do’a – do’a dalam sholat. Namun sampai saat kini, saya belum dapat menemukan satu dalil pun tentang lafadz niat sholat (Usholi … , … dst).

1. Apakah ada dalil tentang lafadz niat tersebut (bukan tentang dibaca atau tidaknya, tetapi tentang bacaan/lafadznya) ?

 2. Kemudian siapakah ulama/orang yang pertama kali melafadzkan niat tersebut ? 

Wassalam

===================

Wa’alaikumussalam warohmatulloh wabarokatuh…

Lafadz niat sangat masyhur dinisbatkan kepada mazhab Syafi’i, hal ini karena Abu Abdillah Al Zubairi yang masih termasuk dalam ulama mazhab Syafi’i telah -Menyangka- bahwa Imam Asy Syafi’i raḥimahullāh (may Allāh have mercy upon him) telah menyatakan wajib melafazkan niat ketika shalat.

Sebenarnya, pendapat ini muncul akibat sebagian ulama belakangan yang terkecoh dengan apa yang dikatakan Imam Asy-Syafi’i raḥimahullāh (may Allāh have mercy upon him) di dalam masalah shalat. Redaksinya yakni sebagai berikut:

“Sesungguhnya shalat tidak sama dengan puasa. Tidak ada seorangpun yang akan memasuki shalat kecuali dengan DZIKIR.” 

Kata “dzikir” disini dikira pelafazan niat oleh orang yang shalat. Padahal yang dimaksud oleh Imam Syafi’i raḥimahullāh (may Allāh have mercy upon him) dengan kata “dzikir” disini merupakan TAKBIRATUL IHRAM. Bagaimana mungkin Imam Syafi’i raḥimahullāh (may Allāh have mercy upon him) mensunahkan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him), dan tidak pula oleh para khulafa’nya serta para shahabatnya raḍyAllāhu 'anhum (may Allāh be pleased with them).

Sebabnya adalah pemahamannya yang keliru dalam mengiterpretasikan perkataan Imam Syafi’i raḥimahullāh (may Allāh have mercy upon him), dengan redaksi redaksi sberikut ini: ” Jika seseorang berniat menunaikan ibadah haji atau umrah dianggap cukup sekalipun tidak dilafazkan.Tidak seperti shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan AL NUTHQ (diartikan oleh Al Zubairi dengan melafazkan, sedangkan yang dimaksud dengan AL NUTHQ disini adalah takbir) [al Majmuu’ II/43] 

An Nawawi (seorang ulama pembesar mazhab Syafi’i) raḥimahullāh (may Allāh have mercy upon him) berkata: “Beberapa rekan kami berkata: “Orang yang mengatakan hal itu telah keliru. Bukan itu yang dikehendaki oleh Imam As Syafi’i raḥimahullāh (may Allāh have mercy upon him) dengan kata AL NUTHQ di dalam shalat, melainkan yang dimaksud dengan AL NUTHQ oleh beliau adalah takbir. [al Majmuu’ II/43; lihat juga al Ta’aalaim :syaikh Bakar Abu Zaid:100] 

Ibn Abi Izz Al Hanafi raḥimahullāh (may Allāh have mercy upon him) berkata: “Tidak ada seorang ulama pun dari imam besar 4 (mazhab), tidak juga Imam Syafi’i [rahimhu] atau yang lainnya yang mensyariatkan lafaz niat. Menurut kesepakatan mereka, niat itu tempatnya dihati. Hanya saja sebagian ulama belakangan mewajibkan seseorang melafazkan niatnya dalam shalat. Dan pendapat ini dinisbatkan sebagai mazhab Syafi’i. Imam An Nawawi raḥimahullāh (may Allāh have mercy upon him) berkata :”Itu tidak benar” (Al Itbaa’ :62) 

Ibn Qoyyim raḥimahullāh (may Allāh have mercy upon him) berkata :”Rasulullah ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him) jika hendak mengerjakan shalat, maka dia mengucapkan “Allahu Akbar” dan beliau tidak mengucapkan lafaz apapun sebelum itu dan tidak pernah melafazkan niat sama sekali.

Beliau juga TIDAK mengucapkan: “ushali lillah shalaata kadzaa mustaqbilal qiblah arba’a raka’at imaaman aw ma’muuman” (artinya: aku berniat mengerjakan shalat ini dan itu karena Allah, menghadap kiblat sebanyak 4 raka’at sebagai imam atau makmum).

Rasulullah ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him) tidak pernah mengatakan adaa’aa atau qadhaa’an (artinya melakukannya secara tepat waktu atau qadha’). Dan tidak pernah juga menyebutkan kefardhuannya ketika shalat.

Semua itu adalah bid’ah yang tidak ada sumbernya dari seorangpun baik dengan sanad yang sahih, dhaif, musnad (bersambung sanadnya), ataupun mursal (ada perawi yang gugur dalam sanadnya). Bahkan tidak juga dinukil dari seorang sahabat nabi raḍyAllāhu 'anhum (may Allāh be pleased with them), para tabi’in serta imam 4 (mazhab) raḥimahullāh (may Allāh have mercy upon him).

Oleh karenanya, tiada akan pernah kita temukan dalil tentang lafadz niat tersebut, sebagaimana yang telah dijelaskan para Ulama di atas. walohu a’lam.

(Red-HASMI)