Adab-Adab Bercanda
Berbicara tentang pergaulan dengan orang lain, maka dalam realitasnya kita tidak bisa lepas dengan aktivitas bercanda. Baik itu dengan teman, kerabat, anak, istri, maupun yang lainnya.
Dalam bahasa Arab kata bercanda dikenal dengan al-muzaah. Dalam Silsilatul Adab, Syekh Sholih al-Munjid mengatakan:
المُزَاحُ بِضَمِّ الِميْمِ: كَلَامٌ يُرَادُ بِهِ المُبَاسَطَةُ بِحَيْثُ لَا يُفْضِي ِإلَى أَذَى فَإِذَا بَلَغَ إِلَى الِإيْذَاءِ، فَهُوَ السُخْرِيَةُ
“Al-muzaah dengan mendhommahkan mim-nya bermakna perkataan yang ditujukan untuk menghibur orang lain tanpa ada unsur menyakiti perasaannya. Jika ada unsur menyakiti orang lain maka ini disebut dengan sukhriyah yaitu celaan atau hinaan.”
Adapun kata al-mizaah dengan mengasrohkan mim-nya, maka ini bentuk ketiga dari kata maazaha yumaazihu mizahaan yang artinya saling bercanda.
Macam-macam Bercanda
Bercanda itu terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Muzaah Mahmud
Arti dari muzaah mahmud adalah bercanda yang terpuji. Yaitu canda yang memiliki tujuan yang benar, diiringi dengan niat yang benar, dan sesuai dengan kaidah-kaidah atau aturan Islam. Seperti canda seseorang dengan temannya dalam rangka menghiburnya. Maka, canda seperti ini akan menuai pahala. Di antara dalilnya adalah hadits Jabir, ketika ia telah menikah maka Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam bertanya kepadanya,
“Wahai Jabir, apakah engkau telah menikah?” Aku berkata, ”Ya.” Beliau bertanya, “Wanita gadis ataukah janda.” Aku berkata, “Janda, wahai Rosululloh.” Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam berkata, “Kenapa engkau tidak menikahi gadis sehingga engkau bisa bercanda dengannya dan ia pun bercanda denganmu.”
(HR. Bukhori Muslim)
2. Muzaah Madzmum
Macam canda yang kedua adalah muzaah madzmum yaitu canda yang tercela. Maksudnya adalah canda yang memiliki tujuan yang jahat, niat yang buruk, dan tidak mengindahkan kaidah-kaidahnya dalam Islam. Maka bercanda seperti ini adalah haram hukumnya. Seperti canda yang mengandung kedustaan dan dapat membahayakan.
3. Muzaah Mubaah
Adapun muzaah mubaah adalah candaan yang boleh. Maksudnya yaitu canda yang tidak memiliki tujuan yang benar dan niat yang benar, akan tetapi tidak sampai melanggar kaidah-kaidah Islam dan tidak sering melakukannya sehinnga menjadi kebiasaannya. Canda dengan macam seperti ini tidaklah terpuji dan tidaklah tercela. Begitu juga canda ini tidak akan mendapatkan pahala karena tidak memiliki tujuan dan niat yang benar. Canda ini juga tidak mendapatkan dosa karena tidak sampai menyelisihi kaidah-kaidah Islam.
Kaidah-kaidah Bercanda
Sebagai agama yang sesuai dengan fitroh manusia, Islam membolehkan umatnya untuk bercanda. Karena memang jiwa manusia terkadang merasa jenuh sehingga butuh refreshing dan hiburan. Salah satu bentuknya adalah dengan bercanda. Nabi Muhammad shollallohu’alaihi wasallam sendiri pernah bencanda dengan para sahabatnya. Tugas dakwah yang diembannya tidak menghalanginya untuk sesekali mencandai istri dan para sahabatnya. Oleh karena itu, agar bercanda kita sesuai dengan yang dilakukan oleh Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam, sehingga kita mendapatkan pahala karena canda kita termasuk yang terpuji. Maka hendaknya kita memperhatikan adab-adab atau kaidah-kaidah bercanda dalam Islam. Berikut ini beberapa adab bercanda yang disarikan dari al-Qur`an dan Hadits:
1. Diniatkan untuk ibadah.
Bercanda adalah perkara yang mubah, akan tetapi jika kita niatkan untuk menghibur kesedihan seorang mukmin, menghadirkan kebahagiaan untuk sesama mukmin, mempererat jalinan ukhuwah antara kaum muslimin, maka hal ini dapat bernilai pahala di sisi Alloh. Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya perbuatan itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya masing-masing orang mendapatkan balasan sesuai yang diniatkannya.”
(HR. Bukhori dan Muslim)
2. Candanya sesuai dengan fakta kebenaran dan tidak dibuat-buat.
Ketika kita bercanda dengan orang lain maka materi candaannya adalah sesuai dengan fakta kebenaran. Inilah model bercanda yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Huroiroh bahwa para sahabat pernah berkata kepada Rosululloh, “Sesungguhnya engkau juga mencandai kami.” Maka beliau shollallohu’alaihi wasallam menjawab:
إِنِّي لاَ أَقُولُ إِلاَّ حَقًّا
“Sesungguhnya aku hanya mengatakan yang benar.”
(HR. Tirmidzi)
Dalam realitasnya, tidaklah beliau mencandai para sahabatnya melainkan sesuai dengan fakta kebenarannya. Sebagaimana Imam Abu Dawud meriwayatkan hadits bahwa Anas bin Malik berkata:
قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَا ذَا الأُذُنَيْنِ
“Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam berkata kepadaku, ‘Wahai yang punya dua telinga.”
(HR. Abu Dawud)
Maksud Rosululloh berkata demikian adalah untuk mencandai Anas bin Malik, dan candanya beliau adalah sesuai dengan fakta kebenaran. Karena setiap manusia pada umumnya memiliki dua telinga.
Canda sesuai dengan fakta kebenaran berarti canda tersebut tidak mengandung unsur kebohongan. Apalagi membuat cerita-cerita palsu lagi dusta untuk membuat orang lain tertawa, maka tentu hal ini lebih terlarang lagi. Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam bersabda:
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِالحَدِيثِ لِيُضْحِكَ بِهِ القَوْمَ فَيَكْذِبُ، وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah orang yang mengucapkan perkataan dengan maksud supaya orang lain tertawa lalu ia berdusta, celakalah ia, celakalah ia.”
(HR. Tirmidzi)
3. Tidak ada unsur ghibah dan menuduh orang lain ketika bercanda.
Perkara yang harus diwaspadai oleh kita ketika bercanda adalah candaan yang mengandung unsur ghibah atau ngomongin keburukan orang lain. Karena ketika candaan kita mengandung unsur ghibah maka akan mendapatkan dosa, yang termasuk dalam larangan ayat berikut:
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
“…Janganlah sebagian kalian berbuat ghibah terhadap yang lainnya….”
(QS. Al-Hujurot: [49] 12)
4. Bercanda pada waktu yang tepat.
Sebelum kita ingin bercanda, kita harus memahami situasi dan kondisi. Sehingga candaan kita dilakukan pada waktu dan momen yang tepat. Hindari bercanda pada kondisi-kondisi yang pada umumnya menuntut keseriusan. Seperti ketika berada di majlis ilmu, momen kematian, dan lain sebagainya. Jika kita perhatikan candanya Nabi Muhammad shollallohu’alaihi wasallam, maka itu dilakukan pada saat-saat santai. Seperti ketika mencandai anak kecil yang diberi kuniah Abu ‘Umair, Nabi shollallohu’alaihi wasallam bersabda kepadanya:
يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ
“Wahai Abu ‘Umair! Apa yang dikerjakan oleh Nughoir (Anak burung peliharaan Abu ‘Umair).”
(HR. Bukhori)
5. Tidak larut dalam canda dan gurau.
Sebagaimana disebutkan, bahwa bercanda itu diibaratkan laksana garam. Oleh karena itu, kita bercanda hanya seperlunya dan tidak berlebihan. Apalagi kita larut dalam canda dan gurau yang tak menentu ujungnya. Maka, hal ini terlarang karena dapat menjurus kepada perbuatan-perbuatan yang terlarang. Seperti ghibah, menghina orang lain, dan melalaikan kita dari mengingat Alloh. Jadi, bercanda itu dilakukan seperlunya dan sesekali saja. Sebagaimana yang tercantum dalam hadits berikut:
عَنْ حَنْظَلَةَ الأُسَيِّدِىِّ قَالَ – وَكَانَ مِنْ كُتَّابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ – لَقِيَنِى أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ كَيْفَ أَنْتَ يَا حَنْظَلَةُ قَالَ قُلْتُ نَافَقَ حَنْظَلَةُ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ مَا تَقُولُ قَالَ قُلْتُ نَكُونُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ حَتَّى كَأَنَّا رَأْىَ عَيْنٍ فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَافَسْنَا الأَزْوَاجَ وَالأَوْلاَدَ وَالضَّيْعَاتِ فَنَسِينَا كَثِيرًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ فَوَاللَّهِ إِنَّا لَنَلْقَى مِثْلَ هَذَا. فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قُلْتُ نَافَقَ حَنْظَلَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « وَمَا ذَاكَ ». قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ نَكُونُ عِنْدَكَ تُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ حَتَّى كَأَنَّا رَأْىَ عَيْنٍ فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِكَ عَافَسْنَا الأَزْوَاجَ وَالأَوْلاَدَ وَالضَّيْعَاتِ نَسِينَا كَثِيرًا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنْ لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا تَكُونُونَ عِنْدِى وَفِى الذِّكْرِ لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ وَفِى طُرُقِكُمْ وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
Pada suatu hari seorang sahabat Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam bernama Hanzholah al-Usaiyyidi -Dia termasuk penulis wahyu- bertemu dengan Abu Bakar rodhiyallohu’anhu. Abu Bakar menyapa Hanzholah dan menanyakan kabar Hanzholah. Tanpa dinyana, Hanzolah mengatakan: “Hanzholah telah munafik”. Jawaban ini tentu mengejutkan Abu Bakar. “Subhanallah, apa yang telah engkau katakan?” Kata Abu Bakar. Hanzholah menjelaskan tentang keadaannya kepada Abu Bakar, ”Jika kami berada bersama Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam dan diingatkan tentang keadaan neraka dan surga sehingga seakan-akan ada didepan mata kami, tapi ketika kami sudah pergi dari sisi Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam dan kami bertemu dengan istri dan anak-anak kami serta pekerjaan, kami banyak lupa (atas apa yang diingatkan Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam).” Ternyata Abu Bakar merasakan hal yang sama sehingga mereka sepakat untuk menemui Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam dan menyampaikan perihal yang mereka alami. Mendengar hal ini dengan bijak Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam bersabda:
“Demi zat yang jiwaku ditangan-Nya, jika sekiranya engkau sekalian senantiasa dalam keadaan sebagaimana keadaan kalian bersamaku dan terus menerus berzikir niscaya para malaikat akan menyalami kalian pada tempat tidur dan di jalan-jalan kalian akan tetapi ada saat tertentu begini dan ada saat yang lain begitu tiga kali.”
(HR. Muslim No 4937 dan 4938).
6. Tidak menakut-nakuti dan membahayakan orang lain.
Ketika kita bercanda, hendaknya candaan tersebut tidak membahayakan orang lain. Candaan yang jika itu dilakukan bisa melukai anggota badan atau bahkan bisa menghilangkan nyawa orang lain. Seperti bercanda dengan petasan, senjata tajam, dan lain sebagainya. Karena secara umum, agama Islam melarang umatnya untuk melakukan tindakan yang membahayakan, baik bagi dirinya maupun orang lain. Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“…Janganlah kalian membunuh diri-diri kalian, sesungguhnya Alloh Maha Menyayangi kalian.”
(QS. An-Nisa: [4] 29)
Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam bersabda:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.”
(HR. Ahmad)
7. Tidak mengandung perkataan dan perbuatan keji.
Hindari bercanda dengan perkataan dan perbuaan kotor dan keji. Seperti canda tentang hubungan suami istri, canda dengan gerakan-gerakan yang mengandung pornoaksi, dan lain sebagainya. Karena Alloh tidak menyukai perkataan dan perbuatan kotor dan keji. Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
“Alloh tidak menyukai perkataan buruk yang dilakukan secara terang-terangan kecuali orang yang dizalimi. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS. An-Nisa: [4] 148)
Di samping itu, bercanda dengan perkataan dan perbuatan keji lagi kotor bertentangan dengan salah satu karakteristik panutan kita yaitu Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam. Hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh Abdulloh bin ‘Amr, ketika menyifati Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam:
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا
Abdulloh bin ‘Amr berkata, “Sesungguhnya Rosululloh bukanlah seorang yang keji.”
(HR. Bukhori)
8. Tidak mengandung celaan terhadap agama Alloh.
Adab yang harus diperhatikan ketika bercanda juga yaitu bahwa canda tersebut tidak terkait agama Alloh. Seperti bercanda dengan ayat-ayat al-Qur`an misalnya. Karena kita tidak boleh menjadikan agama Alloh sebagai bahan candaan. Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
وَلَا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا
“…Janganlah kalian menjadikan ayat-ayat Alloh sebagai candaan….”
(QS. Al-Baqoroh: [2] 231)
Ironisnya, bercanda dengan agama Alloh ini seringkali terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Padahal perbuatan ini dapat menjadikan pelakunya keluar dari Islam. Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ (66
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Alloh, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kalian (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.”
(QS. At-Taubah: [65-66] 9)
9. Tidak mencandai seorang yang dianggap sebagai orang yang lebih tua atau seorang ulama besar pada waktu yang tidak layak baginya.
Dalam bercanda kita harus selektif, terutama terkait dengan orang yang kita candai. Jangan sampai kita mencandai seseorang yang lebih tua dari kita atau seorang ulama besar pada kondisi yang tidak layak baginya. Karena hal ini menunjukkan kurangnya penghormatan dan pemuliaan kita terhadap orang yang lebih tua dari kita. Padahal, Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرِنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang tidak menyayangi juniornya dan tidak memuliakan seniornya, maka ia bukan termasuk golongan kami.”
(HR. Abu Dawud)
10. Tidak bercanda dengan wanita-wanita yang bukan mahrom.
Bercanda dengan wanita yang bukan mahrom sangat berisiko untuk menjerumuskan seseorang kepada perkara yang harom. Seperti saling memandang, bersentuhan, bahkan bisa mengantarkan pada perbuatan zina. Wal’iyadzu billah.
Oleh karena itu, janganlah sekali-kali di antara kita bercanda dengan wanita-wanita yang bukan mahrom. Apalagi dilakukan berduaan dengan wanita-wanita muda baik gadis ataupun janda maka godaannya jauh lebih besar dan berbahaya. Ingatlah… setan sangat licik dalam menipu manusia dengan berbagai cara dan langkah-langkahnya. Dan ini merupakan di antara langkah setan untuk menjerumuskan manusia dalam perzinahan. Alloh subhanahu wata’ala telah mengingatkan kita dengan firman-Nya berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ 208
“Wahai orang-orang beriman masuklah kalian ke dalam agama Islam secara totalitas dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kalian.”
(QS. Al-Baqoroh: [2] 208)
Demikianlah beberapa adab dalam bercanda yang harus kita perhatikan dan kita laksanakan. Semoga Alloh subhanahu wata’ala selalu membimbing kita untuk dapat menerapkan adab-adab tersebut dengan baik. Amin. Wallohu a’lam.
Referensi:
Silsilatul Adab, Syekh Sholih al-Munjid
Lisanul ‘Arob, Ibnu Manzur